PEngajian 26-01-09
04.57 | Author: Al Faqir Muhtar Lutfi, S. H. I


Kitab Jawahirul Bukhori hal 98-99
(باب تكره النياحة على الميت)
(216)عَنِ الْمُغِيرَةِ رضى الله عنه قَالَ سَمِعْتُ النَّبِىَّ صلى الله عليه وسلم يَقُولُ « إِنَّ كَذِبًا عَلَىَّ لَيْسَ كَكَذِبٍ عَلَى أَحَدٍ ، مَنْ كَذَبَ عَلَىَّ مُتَعَمِّدًا فَلْيَتَبَوَّأْ مَقْعَدَهُ مِنَ النَّارِ » . سَمِعْتُ رسول الله صلى الله عليه وسلم يَقُولُ « مَنْ نِيحَ عَلَيْهِ يُعَذَّبُ بِمَا نِيحَ عَلَيْهِ »
(Bab: Dimakruhkan Meratap Di atas Mayyit)
Hadis Riwayat dari Mughiroh RA, Ia mengatakan, “Aku mendengar Nabi SAW bersabda: “ Sesungguhnya orang yang berdusta atas namaku itu tidak sama seperti berdusta atas nama salah seorang di antara kalian. Orang berdusta atas namaku secara sengaja hendaklah dia mempersiapkan tempat duduknya di neraka” Aku mendengar Rasulullah SAW bersabda : “Orang (jenazah) yang diratapi di atasnya maka akan disiksa dengan sebab ratapannya itu”.
(باب ليس منا من شق الجيوب)
(163)عن عَبْدِ اللَّهِ بن مسعود رضى الله عنه قَالَ: قَالَ النَّبِىُّ صلى الله عليه وسلم « لَيْسَ مِنَّا مَنْ لَطَمَ الْخُدُودَ ، وَشَقَّ الْجُيُوبَ ، وَدَعَا بِدَعْوَى الْجَاهِلِيَّةِ »
(Bab: Tidak Termasuk Golongan Kami, Orang Yang Merobek-robek Kantong)
Hadis Riwayat dari Abdullah bin Mas’ud RA mengatakan: Bersabda Nabi SAW: “ Tidak Termasuk golongan kami, orang yang menampar-nampar pipi, merobek-robek kantong, dan berseru dengan seruan orang jahiliah”.

Penjelasan:
Hadis no. 162 menjelaskan tentang;
1. Betapa besarnya berdusta atas nama Rasulullah SAW, karena banyak sekali manusia yang dalam perkataannya sering disandarkan kepada perkataan Rasul, seperti orang yang mengatakan: “ oh kalo perbuatan ini ada hadisnya lho..kata Nabi......” padahal dan ternyata itu bukan hadis, maka orang yang melakukan itu bisa dikatakan telah berdusta atas nama Nabi, namun dalam hal ini ada dua kategori yaitu di sengaja dan tidak disengaja. Bagi mereka yang melakukannya dengan sengaja, maka menurut hadis di atas dia disuruh mengambil tempat duduknya di neraka, dengan kata lain hal ini menandakan bahwa dia telah mendapat tiket masuk ke dalam neraka. Namun, jika dilakukan tidak dengan kesengajaan, karena tidak tahu misalnya, mudah2an Allah mengampuninya karena orang yang tidak tahu( jahil) tidak terkena hukum sesuai dengan sabda Nabi , tetapi bukan berarti lebih baik dia tidak tahu saja supaya tidak terkena hukum. Dia tetap wajib belajar dan mencari tahu supaya dia mengerti dan tahu mana yang benar dan tidak selamanya terbelenggu di dalam kebodohan dan ketidaktahuan. Oleh karena itu menurut para ulama, supaya kita tidak mudah terkena vonis berdusta atas nama Rasulullah SAW, hendaknya berhati-hati di dalam berdalil, jangan sembarangan bilang hadis, jika ada hadis yang meragukan hendaknya kita katakan ada sebuah riwayat atau biasa ditambahkan diakhir kalimat(yang diduga hadis/riwayat) itu “Aw Kama Qola Rosulullah”.
2. Orang yang telah meninggal dunia hendaknya jangan terlalu diratapi apalagi sampai berbuat sesuatu yang berlebihan, sampai teriak-teriak histeris atau merobek-robek sabagaimana akan dijelaskan di hadis yang berikutnya. Karena hal ini mengesankan tidak terima atas takdir dan keputusan Tuhan.Sehingga di dalam hadis ini disebutkan bahwa mereka yang diratapi akan disiksa dengan sebab ratapannya itu, paling tidak, mereka akan tersiksa batinnya, sebagaimana maklum, mereka yang telah meninggal pada dasarnya masih bisa mendengar namun, mereka tidak bisa menjawab dan memelekkan(membuka) matanya, sehingga betapa tersiksanya mereka tatkala mendengar ratapan keluarganya yang tidak terima kematiannya itu. Bersedih boleh, karena Nabi pun pernah meneteskan air mata tatkala salah seorang sahabatnya meninggal, namun sekali lagi kami tegaskan: JANGAN BERLEBIHAN.
Hadis no. 163 menegaskan bahwa mereka yang biasa berteriak histeris, meratap berlebihan bahkan sampai menampar-nampar pipi, merobek robek kerah dan kantong pada saat kena musibah kematian adalah bukan termasuk golongan Nabi.
Yang dimaksud dengan teriakan jahiliyah menurut para ulama, seperti teriakan mereka ”wa musibataaah…” “aduh celaka..”.
Semua perbuatan tadi menjukkan ketidakterimaan terhadap keputusan Allah. Oleh karena itu hendaklah kita banyak berdoa setelah sholat
اَللَّهُمَّ إِنَّكَ تَعْلَمُ سِرِّي وَعَلاَنِيَتِيْ فَاقْبَلْ مَعْذِرَتِيْ وَتَعْلَمُ حَاجَتِيْ فَأْتِنِيْ سُؤْلِيْ وَتَعْلَمُ مَا فِيْ نَفْسِيْ فَاغْفِرْلِيْ ذَنْبِيْ اَللَّهُمَّ إِنِّيْ أَسْئَلُكَ اِيْمَانًا يُبَاشِرُ قَلْبِيْ وَيَقِيْنًا صَادِقًا حَتىَّ أَعْلَمَ اَنَّهُ لاَ يُصِيْبُنِيْ اِلاَّ مَا كَتَبْتَهُ عَلَيَّ وَ الرِّضَى بِمَا قَسَمْتَهُ لِيْ يَا ذَا الْجَلاَلِ
وَ اْلاِكْرامِ
"Ya Allah, sesungguhnya Engkau mengetahui apa yang kusembunyikan dan yang kulahirkan(terang-terangan), maka terimalah uzurku. Sesunguhnya Engkau mengetahui hajatku, maka berilah permohonanku dan Engkau mengetahui apa yang ada pada diriku, maka ampunilah dosaku.
Ya Allah, aku mohon kepada-Mu sebuah keimanan yang bisa membahagiakan hatiku dan keyakinan yang benar, sehingga dapat aku ketahui bahwa tidak ada yang menimpaku kecuali apa yang telah Engkau tentukan atasku dan ridho terhadap apa yang telah Engkau bagikan (tentukan) kepadaku, Wahai Dzat Yang Memiliki Keagungan dan Kemuliaan".
Wallahu A’lam

Baca Selengkapnya......
DIA...
22.14 | Author: Al Faqir Muhtar Lutfi, S. H. I

Diceritakan bahwa asy-Syibli berkata: Suatu ketika aku bertemu seorang perempuan negro Habasyiyah. Dia terlihat kepayahan. Namun dia tetap bersemangat dan mempercepat langkahnya.
Aku menyapanya, “Wahai hamba Allah, kasihanilah diri Anda, dan bersikaplah  halus kepadanya.”


Dia menukas, “Dia adalah Dia.”
“Dari mana Anda berangkat?” timpalku.
“Dari Dia.”
“Kemana Anda hendak menuju.”
“Menuju Dia.”
“Apa yang Anda inginkan?”
Dia menjawab tegas, “Dia.”
Aku Tanya lagi, “Siapa nama Anda?”
Dia jawab, “Dia.”
“Seberapa banyak Anda berzikir?”
“Mulutku tidak pernah tersenyum karena aku menyebut ‘Dia’ sampai aku bertemu dengan Dia.”
Kemudian perempuan negro itu melantunkan syair:
Bila cinta hilang, tiada ganti
Bagiku, dari kalian
Sesudah kalian, terhadap selain kalian pun
Tidak ada kepentingan
Di antara ceritaku bagi kalian adalah
Mereka berkata:
Sakit telah mempengaruhi perempuan itu
Maka aku katakana: bahkan
Sakit itu terus menggelayutiku
Asy-Syibli berkata: Lalu aku bertanya kepadanya, “Wahai hamba Allah, apa yang Anda maksudkan dengan ucpan anda, Dia? Apakah yang Anda maksudkan adalah Allah?”
Ketika mendengar sebutan Allah, dia berteriak dengan suara melengking. Saat itulah memancar keluarlah ruhnya, dia mati. Semoga rahmat Allah selalu terlimpah kepadanya.
Kemudian aku beranjak mempersiapkan penguburan dan menguburkannya. Aku merasa mendengar suara panggilan, “ Wahai Syibli, orang yang mabuk dalam cinta-Ku, bingung dalam mencari-Ku, sangat sedih dengan zikir kepada-Ku, dan mati dengan nama-Ku, maka tinggalkan dia untuk-Ku. Tebusannya adalah tanggung jawab-Ku.”
Aku menoleh untuk melihat siapa yang memanggil dan berbicara. Kemudian perempuan itu menghilang dari pandanganku, aku tidak dapat melihatnya. Aku tidak tahu apakah dia terangkat atau terkuburkan. Semoga Allah merahmati perempuan tersebut dengan karunia-Nya, dan mengampuni kita dengan keutamaan-Nya.

Baca Selengkapnya......
Pengajian 24-01-09
09.56 | Author: Al Faqir Muhtar Lutfi, S. H. I


Kitab Jawahirul Bukhori hal 97-98
)باب الاستخارة في الامور من غير الفريضة ندبا(
(159)عن جابر بن عبد الله رضي الله عنهما قال : كان رسول الله صلى الله عليه و سلم يعلمنا الاستخارة في الأمور كما يعلمنا السورة من القرآن يقول ( إذا هم أحدكم بالأمر فليركع ركعتين ثم ليقل اللهم إني أستخيرك بعلمك وأستقدرك بقدرتك وأسألك من فضلك العظيم فإنك تقدر ولا أقدر وتعلم ولا أعلم وأنت علام الغيوب . اللهم إن كنت تعلم أن هذا الأمر خير لي في ديني ومعاشي وعاقبة أمري أو قال عاجل أمري وآجله فاقدره لي ويسره لي ثم بارك لي فيه وإن كنت تعلم أن هذا الأمر شر لي في ديني ومعاشي وعاقبة أمري فاصرفه عني واصرفني عنه واقدر لي الخير حيث كان ثم أرضني به . قال ويسمي حاجته )

(Bab Sholat Istikhoroh Dalam Segala Urusan Yang Bukan Fardhu)

Dari Jabir bin Abdillah RA mengatakan: Rasulullah SAW mengajarkan kami sholat istikhoroh dalam berbagai urusan sebagaimana ia mengajarkan kami 1 surat dari al –Quran, Beliau bersabda : “ Apabila salah seorang kalian menginginkan sebuah urusan maka sholatlah dua rokaat, kemudian berdoalah:
اَللهُمَّ إِنِّي أَسْتَخِيرُكَ بِعِلْمِكَ وَأَسْتَقْدِرُكَ بِقُدْرَتِكَ وَأَسْأَلُكَ مِنْ فَضْلِكَ الْعَظِيْمِ فَإِنَّكَ تَقْدِرُ وَلاَ أَقْدِرُ وَتَعْلَمُ وَلاَ أَعْلَمُ وَأَنْتَ عَلاَّمُ الْغُيُوبِ . اللهم إِنْ كُنْتَ تَعْلَمُ أَنَّ هَذَا الأَمْرَ خَيْرٌ لِيْ فِيْ دِيْنِيْ وَمعَاشِيْ وَعَاقِبَةِ أَمْرِي فَاقْدُرْهُ لِيْ وَيَسِّرْهُ لِيْ ثُمَّ بَارِكْ لِيْ فِيْهِ وَإِنْ كُنْتَ تَعْلَمُ أَنَّ هَذَا الأِمْرَ شَرٌّ لِيْ فِيْ دِيْنِيْ وَمَعَاشِيْ وَعَاقِبَةِ أَمْرِي فَاصْرِفْهُ عَنِّيْ وَاصْرِفْنِيْ عَنْهُ وَاقْدُرْ لِيَ الْخَيْرَ حَيْثُ كَانَ ثُمَّ أَرْضِنِيْ بِهِ
Kemudian sebutkanlah hajatnya”

)باب الأمر باتباع الجنائز(
(160)عن البراء رضي الله عنه قال : أمرنا النبي صلى الله عليه و سلم بسبع ونهانا عن سبع أمرنا باتباع الجنائز وعيادة المريض وإجابة الداعي ونصر المظلوم وإبرار القسم ورد السلام وتشميت العاطس . ونهانا عن آنية الفضة وخاتم الذهب والحرير والديباج والقسي والإستبرق وركوب المياثر

(Bab Perintah Untuk Mengiringi Jenazah)
Hadis Riwayat dari al-Barro RA, beliau mengatakan:
“ Nabi Muhammad SAW memerintahkan 7 hal kepada kami dan melarang terhadap 7 hal:
Beliau memerintahkan kepada kami untuk:
1. Mengiringi jenazah
2. Menjenguk orang sakit
3. Memenuhi undangan
4. Menolong orang yang dizhalimi
5. Berbuat baik terhadap orang yang bersumpah
6. menjawab salam
7. menjawab(doa) orang yang bersin
dan Beliau melarang kami terhadap :
1. Menggunakan peralatan dari perak
2. Menggunakan cincin emas
3. Menggunakan sutra (harir)
4. Menggunakan Sutra dibaj
5. Menggunakan Sutra qissi
6. Menggunakan Sutra istabroq
7. Menunggang pelana yang terbuat dari sutra
)باب فضل من توفي له ولد(
(161) عن انس بن مالك رضي الله عنه قال :قال النبي صلى الله عليه و سلم ( ما من الناس من مسلم يتوفى له ثلاث لم يبلغوا الحنث إلا أدخله الله الجنة بفضل رحمته إياهم )
(Bab Keutamaan Orang Yang Anaknya diwafatkan (oleh Allah SWT)
Dari Anas bin Malik RA, beliau mengatakan : Nabi ‘Alaihisholatu Wa Salam bersabda:
“ Tidaklah manusia dari golongan Muslim yang 3 anaknya diwafatkan(oleh Allah) dan belum sampai umur baligh melainkan Allah akan masukkan ia ke surga dengan sebab keutamaan kasih sayangnya kepada mereka”

Penjelasan :
Hadis no 159 menjelaskan bahwa dalam segala urusan hendaklah kita melaksanakan sholat istikhoroh guna mendapatkan yang terbaik menurut Allah SWT, karena jika hanya mengandalkan pendapat kita pribadi hal itu belum tentu baik buat kita Allah SWT berfirman di dalam surat al- Baqoroh :216.
“........ boleh jadi kamu membenci sesuatu, padahal ia amat baik bagimu, dan boleh jadi (pula) kamu menyukai sesuatu, padahal ia amat buruk bagimu; Allah mengetahui, sedang kamu tidak Mengetahui.”
Perlu diingat bahwa shalat istikhoroh dilaksanakan hanya untuk memilih sesuatu yang bukan wajib, karena hal yang wajib itu memang harus dikerjakan, tidak perlu pilih-pilih lagi, seperti: kita tidak perlu melakukan shalat istikhoroh untuk menentukan besok akan puasa Romadhon atau tidak, sebab puasa Ramadhan hukumnya wajib, jadi langsung saja putuskan untuk mengerjakannya tanpa istikhoroh lagi.
Hadis no 160 menjelaskan bahwa Rasulullah SAW memerintahkan umat nya terhadap 7 hal, yaitu (1) mengiringi jenazah, hal ini ditujukan sebagai bahan renungan bahwa suatu saat pun kita akan seperti jenazah itu yang diiringi oleh manusia untuk ke alam kubur, sehingga kita lebih sering mengingat mati dan menambahkan semangat untuk beribadah kepada Allah SWt. (2) mengunjungi orang sakit, sekaligus mendokan mereka, sebab orang yang sakit itu memiliki banyak kemungkinan, di antaranya mungkin dia sedang diuji Allah SWT dengan penyakitnya itu, atau bisa jadi sebagai penghapus dosa ataupun tahap pengangkatan derajatnya. (3)Memenuhi undagan, yang dalam hal ini jiki si pengundang dan acara dalam undangan tersebut tidak ada hal yang diharamkan oleh Allah SWT, jika ada maka tidak diwajibkan untuk menghadirinya. (4) Menolong orang yang dizhalimi, dengan berbagai cara baik materil maupun moril. (5) Berbuat baik terhadap orang yang bersumpah, dengan membebaskan dia dari sumpahnya. (6) Menjawab salam, hal ini dilakukan hanya kepada sesama Muslim saja. (7) Menjawab orang yang bersin, dengan mengucapkan Yarhamukallah,namun ingat, jawaban ini hanya wajib kita lontarkan jika si orang yang bersin mengucapkan alhamdulillah. Di samping itu Rasul juga melarang dari7 hal yaitu: (1) Menggunakan peralatan yang terbuatdarierak, karena hal ini mudah menimbulkan kecemburuan sosial, namun yang sudah pasti hal ini adalah pemborosan dan Allah sangat tidak suka terhadap orang yang boros, bahkan Allah mengklaim di dalam al-Quran bahwa pemboros adalah saudaranya syaithon. (2)Menggunakan cincin emas, hal ini ditujukan hanya untuk lelaki saja, sedangkan wanita diperbolehkan untuk memakainya. (3)Menggunakan sutra(harir), hal ini juga ditujukan hanya untuk lelaki saja, sedangkan wanita diperbolehkan untuk memakainya. (4) Menggunakan Sutra dibaj, sama dengan sebelumnya. (5) Menggunakan Sutra Qissi(kain yang dicampur sutra), Sama dengan sebelumnya, (6) Menggunakan Sutra istabroq, Sama dengan sebelumnya. (7) menunggang pelana yang terbuat dari sutra, termasuk juga jok motor atau mobil yang terbuat dari sutra, karena termasuk pemborosan dan berlebihan. Namun,hal ini tidak berlaku jika dalam keadaan darurat seperti mereka yang mempunyai penyakit gatal dan hanya bisa menggunakan sesuatu yang terbuat dari sutra supaya tidak gatal, maka dalam hal ini diperbolehkan.
Hadis no. 161 menjelaskan bahwa sebuah keluarga yang 3 orang anaknya meninggal dalam usia yang belum sampai baligh maka Allah akan berikan balasan surga untuk keluarga(ortu) itu, bagaimana jika yang meninggal hanya 1 atau 2? Jawabannya adalah sama, yakni Allah akan persiapkan surga buatnya, sebab ada hadis riwayat lain yang menjelaskan hal demikian.
Wallahu a’lam.

Baca Selengkapnya......
Ada Apa Dengan Daging Onta ???
09.50 | Author: Al Faqir Muhtar Lutfi, S. H. I


Abi emangnya kalo makan daging onta itu bisa bikin wudhu batal? Begitu ditanyakan salah seorang jamaah pengajian, yuk kita bahas!
Onta merupakan salah satu binatang ciptaan Allah yang mempuyai kelebihan bisa melakukan perjalan panjang dan menyimpan cadangan minuman di punuknya. Dan dari binatang ini juga lairlah istilah marhalah dalam ilmu fiqh.

Langsung saja . Menurut hadis yang diriwayatkan oleh Imam Muslim, iya benar bahwa memakan daging onta bisa membatalkan wudhu, hadisnya sebagai berikut :
عَنْ جَابِرِ بْنِ سَمُرَةَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ { أَنَّ رَجُلًا سَأَلَ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ : أَتَوَضَّأُ مِنْ لُحُومِ الْغَنَمِ ؟ قَالَ : إنْ شِئْت قَالَ : أَتَوَضَّأُ مِنْ لُحُومِ الْإِبِلِ ؟ قَالَ : نَعَمْ }
Dari Jabir bin Samuroh RA, bahwasanya seseorang bertanya kepada Nabi SAW, “ Apakah aku harus berwudhu setelah makan daging kambing?” Nabi menjawab : “ jika Kau mau”, ia bertanya lagi: “ apakah aku harus berwudhu setelah memakan daging onta?”. Nabi Menjawab : “Ya”.
Dari hadis ini sudah bisa dijawab pertanyaan di atas, yakni mereka yang memakan daging onta, harus berwudhu setelahnya, dengan kata lain, dengan memakan daging onta bisa membatalkan wudhu. Hal ini juga disepakati oleh para ulama di antaranya: Imam Ahmad bin Hambal, Ishaq, ibnu Mundzir, ibnu Khuzaemah dan Imam Baihaqi. Bahkan golongan Syafi’iyah pun mengatakan jika memang hadis itu shohih, maka kami sependapat dengannya. Demikian dijelaskan di dalam kitab subulus salam.

Baca Selengkapnya......
Hadiah Bagi Tebakan Jitu
09.46 | Author: Al Faqir Muhtar Lutfi, S. H. I

Baginda Raja Harun al Rasyid kelihatan murung. Semua mentrinya tidak ada yang sanggup menemukan jawaban dari dua pertayaan baginda. Bahkan para penasihat kerajaan pun merasa tidak mamu memberi penjelasan yang memeuaskan baginda. Padahal baginda sendiri ingin mengetahui jawaban yang sebenarnya.

Mungkin karena amat penasaran, para penasihat baginda menyarankan agar Abu Nawas saja yang memecahkan dua teka teki yang membingungkan itu. Tidak begitu lama Abu Nawas dihadapkan. Baginda mengatakan Bahwa akhir-akhir ini ia sulit tidur karena diganggu oleh keingintahuan menyingkap dua rahasia alam.
“Tuanku yang mulia, sebenarnya rahasia alam manakah yang Paduka maksudkan?” tanya Abu Nawas ingin tahu.
“Bolehkah hamba mengetahui kedua teka-teki itu wahai Paduka junjungan hamba.”
“ Yang pertama, di manakah sebenarnya atas jagat raya ciptaan Tuhan kita?” tanya Baginda.
“Di dalam pikiran wahai Baginda”. Jawab Abu Nawas tanpa sedikitpun perasaan ragu, “ Tuanku yang mulia” lanjut Abu Nawas “ ketidakterbatasan itu ditanamkan oleh Tuhan di dalam otak manusia.dari itu manusia tidak akan pernah tahu di mana batas jagat raya ini. Sesuatu yang terbatas tentu akan mampu mengukur sesuatu yan tidak terbatas”.
Baginda mulai tersenyum karena merasa puas karena mendengar jawaban Abu Nawas yang masuk akal. Kemudian Baginda melanjukan teka-teki yang kedua.
“ Wahai Abu Nawas, manakh yang jumlahnya lebih banyak, bintang di langit ataukah ikan di lautan?
“ikan-ikan di laut.” Jawab Abu Nawas dengan tangkas.
“Bagaimana kau bisa langsung memutuskan begitu. Apakah engkau pernah menghitung jumlah mereka?” tanya Baginda heran.
“ Paduka yang mulia, bukankah kita semua tahu bahwa ikan-ikan itu setiap hari ditangkapi dalam jumlah besar, namun begitu jumlah mereka tetap banyak seolah-olah tidak pernah berkurang karena saking banyaknya. Sementara bintang-bintang itu tidak pernah rontok, jumlah mereka juga banyak.” Jawab Abu Nawas meyakinkan.
Seketika itu perasaan yang selama ini menghantui Baginda sirna tak berbekas. Baginda Raja Harun al-Rasyid memberi hadiah Abu Nawas dan istrinya uang yang cukup banya,


Baca Selengkapnya......
CELANA CINGKRANG Vs CELANA JIN
14.43 | Author: Al Faqir Muhtar Lutfi, S. H. I


Biasa kalau waktunya sudah masuk Ramadhan, warga kampung yang merantau ke berbagai kota banyak pulang kampung. Berpuasa di kampung merasa lebih khusuk dan nikmat, begitulah alasan mereka.


Namun, diantara anak-anak perantau itu ada yang membawa kebiasaan gaya hidup yang tak lazim dikampung itu. Karena ini kampung santri,biasanya masyarakatnya banyak yang pakai sarung dan baju kokoh plus kopyah hitam. Namun, ada dua anak muda cara berpakaianya yang ekstrim: pakai celana cingkrang vs celana jin.
Akhirnya terjadi perdebatan kecil menyangkut soal celana ini. Awalnya, anak muda yag memakai celana cingkrang menegor saudara tuanya yang pakai jin, “Mbok jangan pakai celana jin, karena pakaian itu biasa dipakai orang kafir. Agar keislaman kita sempurna,mari memakai baju menurut Islam ya seperti saya ini,celana cingkrang,”katanya membuat orang-orang sekitarnya kaget. Celana, kok ada celana kafir?, gumam mereka.
Yang lebih seru lagi, tak hanya soal celana jin yang disoal, cara ibadah juga diprotes bahwa tidak boleh wirid bersama, jangan qunut, karena itu bid’ah, tidak ikut sunah Nabi bahkan dituduh sesat.
Saudaranya yang memakai celana jin, akhirnya balik bertanya, “tapi baju yang kamu pakai itu kok seperti pemain film india yang mayoritas beragama Hindu itu,”katanya meledak.”ya ga sama lah, justru ini sesuai dengan sunah Nabi,”katanya menjawab. Kemudian dia tunjukan hadits Nabi—intinya menerangkan Nabi mencingkrangkan celana pembesar dari Afrika yang membuat gegeran. Saudara tuanya yang kebetulan pernah nyantri juga punya dalil.”begini ya sebaiknya hadits itu dimaknai filosofinya, yaitu Nabi melarang berpakain dengan sikap sombong dan mubazir, bukan masalah bentuk dan potonganya. Meskipun celana cingkrang, tetapi jika dalam hati ingin mennjukan paling alim dan paling syar’I, maka saya kira itu menjadi penyebab dosa, , sebab Allah itu tidak melihat penampilannya, tetapi yang dilihat adalah hatinya, jadi meskipun memakai celana jin yang kamu katakan baju kafir, tetapi jika disyukuri dan diniatkan menutup aurat, saya kira justru itu yang dapat pahala” jelas saudara tuanya itu.
Setelah melalui perdebatan alot dan mendapat jawaban berdasar dalil yang kuat juga, baru yang pakai celana cingkrang terdiam. Debat pun bubar, bersamaan dengan bedug maghrib sehingga dua saudara itu berbuka bersama.

(sumber:Risalah NU)

Baca Selengkapnya......
Mengusap Muka Setelah Berdoa, BID'AHKAH ???
00.10 | Author: Al Faqir Muhtar Lutfi, S. H. I

Sebuah pertanyaan dilontarkan di majlis taklim siswa 33 tanggal 24 Jan 09, yakni apakah mengusap muka setelah berdoa itu bid'ah? sebab ada di kalangan tertentu yang mengatakan hal tersebut tidak ada hadisnya. Apa iya :? ???

Yuk kita bahas ini dengan bijak !!!.
Ketika seseorang mengatakan suatu hal ataupekerjaan tertentu itu bid'ah atau tidak ada hadisnya hendaknya dia benar2 elah meneliti sebelumnya bahwa memeng tidak ada hadisnya dengan melacak ke seluruh kitab hadis yang ada, atau minimal kutubus sittah(kitab hadis yang enam) yang dijadikan sandaran utama di dalam penetapan sebuah hukum yaitu: Bukhori, Muslim, Abu Daud, Tirmidzi, an Nasai dan Ibnu Majah. Karena bisa jadi hal yang dikatakan tidak ada hadisnya itu ternyata terdapat di dalm salah satu kitab hadis di atas, seperti masalah mengusap muka setelah berdoa ini. entah kenapa orang dengan lantang dan beraninya melarang orang lain mengusap muka setelah berdoa dengan mengatakan tidak ada hadisnya, padahal ada hadis yang menerangkan tentang hal itu, di antaranyanya:
Hadis yang diriwayatkan oleh ibnu majah:
حَدَّثَنَا أَبُو كُرَيْبٍ وَمُحَمَّدُ بْنُ الصَّبَّاحِ قَالَا حَدَّثَنَا عَائِذُ بْنُ حَبِيبٍ عَنْ صَالِحِ بْنِ حَسَّانَ الْأَنْصَارِيِّ عَنْ مُحَمَّدِ بْنِ كَعْبٍ الْقُرَظِيِّ عَنْ ابْنِ عَبَّاسٍ قَالَ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِذَا دَعَوْتَ اللَّهَ فَادْعُ بِبَاطِنِ كَفَّيْكَ وَلَا تَدْعُ بِظُهُورِهِمَا فَإِذَا فَرَغْتَ فَامْسَحْ بِهِمَا وَجْهَكَ
(رواه ابن ماجه , حديث رقم : 1171 و 3856 )
Telah meriwayatkan hadis kepada kami oleh Abu Kuroib dan Muhammad bin Sobbah keduanya berkata telah meriwayatkan hadis kepada kami 'Aaidz bin Hubaib dari Sholih bin Hassan al Anshory dari Muhammad bin Ka'ab al Kurozhy dari Abdullah bin 'Abbas ia berkata, bersabda Nabi Muhammad SAW : "Apabila engkau berdoa kepada Allah SWT, maka berdoalah dengan bagian dalam tanganmu (tapak tangan) dan jangan kau berdoa dengan bagian punggungnya, dan jika telah selesai maka usaplah dengan kedua tanganmu itu akan wajahmu " ( HR. Ibnu Majah, hadis no: 1171 dan 3865 )
dan ada juga hadis riwayat imam Bukhori yang pada intinya juga menunjukkan bahwa Nabi mengusap mukaya setelah berdoa, yakni :
حَدَّثَنَا عَبْدُ الْعَزِيزِ بْنُ عَبْدِ اللَّهِ الْأُوَيْسِيُّ حَدَّثَنَا سُلَيْمَانُ عَنْ يُونُسَ عَنْ ابْنِ شِهَابٍ عَنْ عُرْوَةَ بْنِ الزُّبَيْرِ عَنْ عَائِشَةَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهَا قَالَتْ كَانَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِذَا أَوَى إِلَى فِرَاشِهِ نَفَثَ فِي كَفَّيْهِ بِقُلْ هُوَ اللَّهُ أَحَدٌ وَبِالْمُعَوِّذَتَيْنِ جَمِيعًا ثُمَّ يَمْسَحُ بِهِمَا وَجْهَهُ وَمَا بَلَغَتْ يَدَاهُ مِنْ جَسَدِهِ قَالَتْ عَائِشَةُ فَلَمَّا اشْتَكَى كَانَ يَأْمُرُنِي أَنْ أَفْعَلَ ذَلِكَ بِهِ قَالَ يُونُسُ كُنْتُ أَرَى ابْنَ شِهَابٍ يَصْنَعُ ذَلِكَ إِذَا أَتَى إِلَى فِرَاشِهِ
( رواه البخاري , حديث رقم : 5307 )
Telah meriwayatkan hadis kepada kami oleh 'Abdul Aziz bin Abdullah al ausy, ia berkata: telah meriwayatkan hadis kepada kami oleh Sulaiman dai Yunus dari Ibnu Syihab dari 'Urwah bin Zubeir dari 'Aisyah Radiyallahu 'Anha, ia berkata: "Rasulullah SAW jika hendak ke tempat tidur ia tiupkan(dgn sedikit air ludah, penj)) ke tapak tangannya dengan membaca surat al Ikhlash, al Falaq dan an Naas (sebelumnya. Penj) seluruhnya, kemudian ia usapkan dengan kedua tapak tangannya itu ke mukanya dan seruh badannya yang dapat ia capai dengan kedua tangannya itu". 'Aisyah berkata:"ketika aku mengaduh kepadanya, maka ia memerintahkan kau berbuat seperti demikian" Yunus berkata: "Aku melihat Ibnu Syihab melakukan hal demikian jika ia hendak ke tempat tidurnya" ( HR. Bukhori, Hadis No: 5307 )
semoga dengan penjelasan hadis ini bisa menjawab pertanyaan di atas dan membuat kita lebih banyak belajar lagi tentang ilmu agama dan tidak mudah menyalahkan orang lain apalagi karena kebodohan dan ketidaktahuan kita. Wallahu a'lam

Baca Selengkapnya......
Salafy Menurut Yusuf al-Qardhawy
07.53 | Author: Al Faqir Muhtar Lutfi, S. H. I

Sebaigamana kita ketahui bahwa Dr. Yusuf al-Qardhawi adalah salah seorang salafy dan juga mengaku sebagai pengikut salaf. tapi menurut para pengikut salafy atau wahabi yang menganggap diri mereka salafy/wahabi tulen maka beliau dianggap bukan salafy, dan na’as-nya selain dianggap bukan salafy beliau juga divonis sesat.
Fatwa tersebut bersebaran di situs-situs dan blog-blog wahabi ekstrim atau tulen. Seakan-akan mereka telah mendapat wewenang dari Allah SWT dan Rasul-Nya yang mulia untuk mensesatkan umat Islam yang berseberangan dengan pemikiran dan manhaj-nya. Pensesasatan Yusuf al-Qardhawi bisa dilihat disini dan tigabelas vonis kesesatan Dr. Yusuf al-Qardhawi lainnya oleh wahabi/salafy bisa disimak disini

Dibawah ini kami sajikan artikel Dr. Yusuf al-Qardhawy tentang salafy menurut beliau.
PEMIKIRAN SALAFY
Oleh: Dr. Yusuf al-Qardhawy
Sumber: Media Isnet
Yang dimaksud dengan “Pemikiran Salafi” di sini ialah kerangka berpikir (manhaj fikri) yang tercermin dalam pemahaman generasi terbaik dari ummat ini. Yakni para Sahabat dan orang-orang yang mengikuti mereka dengan setia, dengan mempedomani hidayah Al-Qur’an dan tuntunan Nabi SAW.
Kriteria Manhaj Salafi yang Benar
Yaitu suatu manhaj yang secara global berpijak pada prinsip berikut :
1. Berpegang pada nash-nash yang ma’shum (suci), bukan kepada pendapat para ahli atau tokoh.
2. Mengembalikan masalah-masalah “mutasyabihat” (yang kurang jelas) kepada masalah “muhkamat” (yang pasti dan tegas). Dan mengembalikan masalah yang zhanni kepada yang qath’i.
3. Memahami kasus-kasus furu’ (kecil) dan juz’i (tidak prinsipil), dalam kerangka prinsip dan masalah fundamental.
4. Menyerukan “Ijtihad” dan pembaruan. Memerangi “Taqlid” dan kebekuan.
5. Mengajak untuk ber-iltizam (memegang teguh) akhlak Islamiah, bukan meniru trend.
6. Dalam masalah fiqh, berorientasi pada “kemudahan” bukan “mempersulit”.
7. Dalam hal bimbingan dan penyuluhan, lebih memberikan motivasi, bukan menakut-nakuti.
8. Dalam bidang aqidah, lebih menekankan penanaman keyakinan, bukan dengan perdebatan.
9. Dalam masalah Ibadah, lebih mementingkan jiwa ibadah, bukan formalitasnya.
10. Menekankan sikap “ittiba’” (mengikuti) dalam masalah agama. Dan menanamkan semangat “ikhtira’” (kreasi dan daya cipta) dalam masalah kehidupan duniawi.
Inilah inti “manhaj salafi” yang merupakan khas mereka. Dengan manhaj inilah dibinanya generasi Islam terbaik, dari segi teori dan praktek. Sehingga mereka mendapat pujian langsung dari Allah di dalam Al-Qur’an dan Hadits-Hadits Nabi serta dibuktikan kebenarannya oleh sejarah. Merekalah yang telah berhasil mentransfer Al-Qur’an kepada generasi sesudah mereka. Menghafal Sunnah. Mempelopori berbagai kemenangan (futuh). Menyebarluaskan keadilan dan keluhuran (ihsan). Mendirikan “negara ilmu dan Iman”. Membangun peradaban robbani yang manusiawi, bermoral dan mendunia. Sampai sekarang masih tercatat dalam sejarah.
Citra “Salafiah” Dirusak oleh Pihak yang Pro dan Kontra
Istilah “Salafiah” telah dirusak citranya oleh kalangan yang pro dan kontra terhadap “salafiah”. Orang-orang yang pro-salafiah - baik yang sementara ini dianggap orang dan menamakan dirinya demikian, atau yang sebagian besar mereka benar-benar salafiyah - telah membatasinya dalam skop formalitas dan kontroversial saja, seperti masalah-masalah tertentu dalam Ilmu Kalam, Ilmu Fiqh atau Ilmu Tasawuf. Mereka sangat keras dan garang terhadap orang lain yang berbeda pendapat dengan mereka dalam masalah-masalah kecil dan tidak prinsipil ini. Sehingga memberi kesan bagi sementara orang bahwa manhaj Salaf adalah metoda “debat” dan “polemik”, bukan manhaj konstruktif dan praktis. Dan juga mengesankan bahwa yang dimaksud dengan “Salafiah” ialah mempersoalkan yang kecil-kecil dengan mengorbankan hal-hal yang prinsipil. Mempermasalahkan khilafiah dengan mengabaikan masalah-masalah yang disepakati. Mementingkan formalitas dan kulit dengan melupakan inti dan jiwa.
Sedangkan pihak yang kontra-salafiah menuduh faham ini “terbelakang”, senantiasa menoleh ke belakang, tidak pernah menatap ke depan. Faham Salafiah, menurut mereka, tidak menaruh perhatian terhadap masa kini dan masa depan. Sangat fanatis terhadap pendapat sendiri, tidak mau mendengar suara orang lain. Salafiah identik dengan anti pembaruan, mematikan kreatifitas dan daya cipta. Serta tidak mengenal moderat dan pertengahan.
Sebenarnya tuduhan-tuduhan ini merusak citra salafiah yang hakiki dan penyeru-penyerunya yang asli. Barangkali tokoh yang paling menonjol dalam mendakwahkan “salafiah” dan membelanya mati-matian pda masa lampau ialah Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah beserta muridnya Imam Ibnul-Qoyyim. Mereka inilah orang yang paling pantas mewakili gerakan”pembaruan Islam” pada masa mereka. Karena pembaruan yang mereka lakukan benar-benar mencakup seluruh disiplin ilmu Islam.
Mereka telah menumpas faham “taqlid”, “fanatisme madzhab” fiqh dan ilmu kalam yang sempat mendominasi dan mengekang pemikiran Islam selama beberapa abad. Namun, di samping kegarangan mereka dalam membasmi “ashobiyah madzhabiyah” ini, mereka tetap menghargai para Imam Madzhab dan memberikan hak-hak mereka untuk dihormati. Hal itu jelas terlihat dalam risalah “Raf’l - malaam ‘anil - A’immatil A’lam” karya Ibnu Taimiyah.
Demikian gencar serangan mereka terhadap “tasawuf” karena penyimpangan-penyimpangan pemikiran dan aqidah yang menyebar di dalamnya. Khususnya di tangan pendiri madzhab “Al-Hulul Wal-Ittihad” (penyatuan). Dan penyelewengan perilaku yang dilakukan para orang jahil dan yang menyalahgunakan “tasawuf” untuk kepentingan pribadinya. Namun, mereka menyadari tasawuf yang benar (shahih). Mereka memuji para pemuka tasawuf yang ikhlas dan robbani. Bahkan dalam bidang ini, mereka meninggalkan warisan yang sangat berharga, yang tertuang dalam dua jilid dari “Majmu’ Fatawa” karya besar Imam Ibnu Taimiyah. Demikian pula dalam beberapa karangan Ibnu-Qoyyim. Yang termasyhur ialah “Madarijus Salikin syarah Manazil As-Sairin ila Maqomaat Iyyaka Na’budu wa Iyyaka Nasta’in”, dalam tiga jilid.
Mengikut Manhaj Salaf Bukan Sekedar Ucapan Mereka
Yang pelu saya tekankan di sini, mengikut manhaj salaf, tidaklah berarti sekedar ucapan-ucapan mereka dalam masalah-masalah kecil tertentu. Adalah suatu hal y ang mungkin terjadi, anda mengambil pendapat-pendapat salaf dalam masalah yang juz’i (kecil), namun pada hakikatnya anda meninggalkan manhaj mereka yang universal, integral dan seimbang. Sebagaimana juga mungkin, anda memegang teguh manhaj mereka yang kulli (universal), jiwa dan tujuan-tujuannya, walaupun anda menyalahi sebagian pendapat dan ijtihad mereka.
Inilah sikap saya pribadi terhadap kedua Imam tersebut, yakni Imam Ibnu Taimiyah dan Ibnul-Qoyyim. Saya sangat menghargai manhaj mereka secara global dan memahaminya. Namun, ini tidak berarti bahwa saya harus mengambil semua pendapat mereka. Jika saya melakukan hal itu berarti saya telah terperangkap dalam “taqlid” yang baru. Dan berarti telah melanggar manhaj yang mereka pegang dan perjuangkan sehingga mereka disiksa karenanya. Yaitu manhaj “nalar” dan “mengikuti dalil”. Melihat setiap pendapat secara obyektif, bukan memandang orangnya. Apa artinya anda protes orang lain mengikut (taqlid) Imam Abu Hanifah atau Imam Malik, jika anda sendiri taqlid kepada Ibnu Taimiyah atau Ibnul-Qoyyim
Juga termasuk menzalimi kedua Imam tersebut, hanya menyebutkan sisi ilmiah dan pemikiran dari hidup mereka dan mengabaikan segi-segi lain yang tidak kalah penting dengan sisi pertama. Sering terlupakan sisi Robbani dari kehidupan Ibnu Taimiyah yang pernah menuturkan kata-kata: “Aku melewati hari-hari dalam hidupku dimana suara hatiku berkata, kalaulah yang dinikmati ahli syurga itu seperti apa yang kurasakan, pastilah mereka dalam kehidupan yang bahagia”.
Di dalam sel penjara dan penyiksaannya, beliau pernah mengatakan: “Apa yang hendak dilakukan musuh terhadapku? Kehidupan di dalam penjara bagiku merupakan khalwat (mengasingkan diri dari kebisingan dunia), pengasingan bagiku merupakan rekreasi, dan jika aku dibunuh adalah mati syahid”.
Beliau adalah seorang laki-laki robbani yang amat berperasaan. Demikian pula muridnya Ibnul-Qoyyim. Ini dapat dirasakan oleh semua orang yang membaca kitab-kitabnya dengan hati yang terbuka.
Namun, orang seringkali melupakan, sisi “dakwah” dan “jihad” dalam kehidupan dua Imam tersebut. Imam Ibnu Taimiyah terlibat langsung dalam beberapa medan pertempuran dan sebagai penggerak. Kehidupan dua tokoh itu penuh diwarnai perjuangan dalam memperbarui Islam. Dijebloskan ke dalam penjara beberapa kali. Akhirnya Syaikhul Islam mengakhiri hidupnya di dalam penjara, pada tahun 728 H. Inilah makna “Salafiah” yang sesungguhnya.
Bila kita alihkan pandangan ke zaman sekarang, kita temukan tokoh yang paling menonjol mendakwahkan “salafiah”, dan paling gigih mempertahankannya lewat artikel, kitab karangan dan majalah pembawa missi “salafiah”, ialah Imam Muhammad Rasyid Ridha. Pem-red majalah “Al-Manar’ yang selama kurun waktu tiga puluh tahun lebih membawa “bendera” salafiah ini, menulis Tafsir “Al-Manar” dan dimuat dalam majalah yang sama, yang telah menyebar ke seluruh pelosok dunia.
Rasyid Ridha adalah seorang “pembaharu” (mujaddid) Islam pada masanya. Barangsiapa membaca “tafsir”nya, sperti : “Al-Wahyu Al-Muhammadi”, “Yusrul-Islam”, “Nida’ Lil-Jins Al-Lathief”, “Al-Khilafah”, “Muhawarat Al-Mushlih wal-Muqollid” dan sejumlah kitab dan makalah-makalahnya, akan melihat bahwa pemikiran tokoh yang satu ini benar-benar merupakan “Manar” (menara) yang memberi petunjuk dalam perjalanan Islam di masa modern. Kehidupan amalinya merupakan bukti bagi pemikiran “salafiah”nya.
Beliaulah yang merumuskan sebuah kaidah “emas” yang terkenal dan belakangan dilanjutkan Imam Hasan Al-Banna. Yaitu kaidah :
“Mari kita saling bekerja sama dalam hal-hal yang kita sepakati. Dan mari kita saling memaafkan dalam masalah-masalah yang kita berbeda pendapat.”
Betapa indahnya kaidah ini jika dipahami dan diterapkan oleh mereka yang meng-klaim dirinya sebagai “pengikut Salaf”.
____________________________
(disalin dari buku “Aulawiyaat Al Harokah Al Islamiyah fil Marhalah Al Qodimah” karya Dr.Yusuf Al Qordhowi, edisi terjemahan Penerbit Usamah Press)

Baca Selengkapnya......
Meluruskan Makna Salaf
07.50 | Author: Al Faqir Muhtar Lutfi, S. H. I

Belakangan ini ada tasyabbuh atau kesalahpahaman dalam memahami makna salaf. Orang biasanya menyamakannya dengan tasalluf, berlagak seperti salaf. Misalnya, orang-orang yang berlagak mengikuti salaf dengan bersurban, berpakaian serba putih, dan beribadah dengan seketat-ketatnya dan semurni-murninya. Tidak hanya secara individual, tetapi sudah melahirkan gerakan salafi yang cenderung eksklusif.
Kata salaf secara bahasa semakna dengan kata qabla, yang berarti sebelum atau yang lampau. Kata ini sering dilawankan dengan kata khalaf yang berarti yang belakangan. Dalam perkembangannya, makna salaf menyempit untuk menyebut suatu babakan historis tertentu dalam sejarah Islam yang berwenang memberi legitimasi ajaran Islam atas periode sesudahnya.

Bahkan, menurut Muhammad Said Ramadhani Al Buth’i, otoritas tersebut hanyalah melekat pada tiga generasi awal Islam, yakni para sahabat, tabi’in, dan tabi’al tabi’in. Pemahaman ini mungkin banyak diilhami oleh sabda Nabi Muhammad SAW: “Sebaik-baik kurun atau masa adalah masa saya (masa para sahabat), kemudian yang mengikutinya (tabi’in), lalu yang mengikutinya (tabi’ al tabi’in).”
Pandangan seperti ini cukup mendasar. Soalnya, periode tersebut memang sangat dekat dengan kehidupan Nabi Muhammad SAW. Beliau merupakan sumber otoritas doktrin-doktrin Islam yang dituangkan dalam Alquran dan hadis. Sudah selayaknya, jika kemudian generasi sahabat sebagai pendamping setia Rasulullah lebih banyak mendengar langsung ajaran Islam dari beliau.
Namun demikian, tiga dasawarsa setelah wafatnya Rasulullah, umat Islam terbelah dalam partai-partai politik (al firaq Al Islamiyah) yang kemudian mengarah pada munculnya sekte-sekte dalam teologi. Tragedi ini membawa dampak yang serius bagi karakteristik salaf. Mau tidak mau, subjektivitas dan fanatisme kelompok dan aliran menjadi pegangan bagi setiap individu umat Islam. Jelas, hal ini mematahkan kadar objektivitas dan keutuhan mereka dalam menyikapi otoritas salaf.
Dalam pandangan mayoritas ulama, yakni kalangan Sunni generasi tabi’ al tabi’in dan para pengikutnya, para khalifah yang empat semuanya memiliki otoritas salaf. Sementara di pihak lain, kelompok Khawarij melihat hanya Khalifah Abu Bakar dan Umar ibn Al Khaththab yang memiliki otoritas kesalafan. Pada Utsman dan Ali, menurut mereka, sudah muncul penyimpangan-penyimpangan. Sedangkan, Syiah secara tegas hanya mengakui otoritas kekhalifahan Ali ibn Abi Thalib.
Perpecahan umat semakin kusut. Setiap kelompok mengklaim dirinyalah yang paling benar. Oleh karena itu, sektarianisme tersebut segera dipangkas dengan merujuk pada sabda Rasulullah: “Perbedaan (pendapat) di kalangan umatku merupakan suatu rahmat.”
Maka, bisa dikatakan, salafiyah dalam sejarah Islam dikenal sebagai aliran atau golongan keagamaan yang selalu merujuk pada prototip al salaf al salih yang berpegang teguh pada nilai-nilai luhur mereka yang bersumber pada Alquran dan hadis. Mereka mencuat ke permukaan dalam kondisi ketika ada sebagian umat Islam ingin memotong mata rantai bermazhab. Mereka di antaranya ditandai dengan sikap-sikap tasalluf yang selalu menampilkan atribut-atribut salaf secara lahiriah, namun tidak mesti memahami dan melaksanakan nilai-nilai ideal yang diwariskan para salafiyun
Persaudaraan lintas iman
Jika kita menelaah tahapan pembentukan masyarakat yang dirintis oleh Nabi Muhammad, sebetulnya ada dua periode historis, yakni periode Makiyah dan Madaniyah. Kedua periode ini menandai tahapan-tahapan yang penting dilakukan para pembaharu masyarakat dalam menegakkan nilai-nilai dan tradisi salafiyah dalam konteks kekinian.
Periode pertama berlangsung saat Nabi Muhammad beserta pengikutnya tinggal di kota tempat kelahirannya, Makkah. Periode ini berlangsung sekitar 13 tahun lamanya. Sungguhpun periode ini lebih lama dari periode berikutnya, hasil yang dicapai Nabi Muhammad tidak sesukses periode kedua. Selama kurun waktu 10 tahun lebih tersebut, konsentrasi penataan masyarakat Arab melalui ajaran moralitas Islam ke arah masyarakat berperadaban baru mencapai taraf transformasi sosial-budaya. Persaudaraan yang muncul pun sebatas persaudaraan internal umat Islam. Mereka bergabung dalam komunitas al sabiqun al awwalun yang berjumlah puluhan hingga ratusan saja.
Sedangkan, pada periode Madaniyah, peluang nabi Muhammad untuk membangun tatanan masyarakat majemuk semakin terbuka, yakni dengan dikeluarkannya kesepakatan bersama antara umat Islam dan Yahudi di Madinah yang dikenal dengan sebutan Piagam Madinah. Kandungan piagam ini merupakan bagian dari upaya melapangkan jalan rekonsiliasi berbagai etnis, agama, dan kelompok yang ada di Madinah saat itu. Ini penting untuk membangun pranata sosial kemasyarakatan yang aman, damai dan sentosa. Oleh karena itu, wajah Islam sejak saat itu semakin menampakkan dimensi fungsionalnya ketimbang dimensi normatif dan formalitasnya.
Misi Islam kemudian ditutup dengan peristiwa haji wada’ (haji perpisahan). Dalam peristiwa besar tersebut, Rasulullah menyampaikan khutbahnya pada puncak ibadah haji saat itu. Di antara isi khutbanya, beliau mengingatkan bahwa darah, harta, dan kehormatan manusia sangat dimuliakan.
Isi khutbah tersebut menunjukkan sikap tentang kesalafiyahan, yakni bahwa kesempurnaan keislaman seseorang haruslah disertai pula dengan upaya penghormatan atas jiwa dengan menghindarkan segala kekerasan. Ringkasnya, dalam konteks saat ini, penghormatan atas nilai-nilai dan hak-hak asasi manusia (HAM) merupakan bagian integral dalam ajaran Islam. Padahal, nilai-nilai tersebut menjadi pilar penting bagi pembentukan masyarakat sipil yang plural, yakni sebuah masyarakat yang dibangun atas dasar persaudaraan lintas iman.
Meneladani karakter salaf
Ketulusan dan keikhlasan generasi salaf merupakan satu kunci kesuksesan dahwah mereka. Refleksi hati yang tulus ikhlas akan memancarkan kearifan dalam setiap pengambilan keputusan. Konsekuensinya, pertimbangan-pertimbangan yang sangat subjektif harus dibuang jauh-jauh dalam pikiran dan langkah mereka. Tidak mengherankan, jika kemudian mereka sering disebut-sebut sebagai salafuna al salih, generasi salaf yang bijak. Karakter salafuna al salih tampak dari sikap mereka ketika menyerap ilmu pengetahuan dan peradaban dari luar khazanah umat Islam.
Dengan demikian, bisa disimpulkan bahwa nilai-nilai salafiyah tidaklah terlepas dari kristalisasi penghargaan ilmu sebagai sebuah sikap ilmiah, sebagai pantulan sikap tulus ikhlas, serta sebagai sebuah refleksi sikap yang arif dan bijaksana. Singkatnya, salafiyah merupakan cerminan generasi yang dinamis dan energik serta penampilan para ilmuwan yang kritis dan lapang dada.
Wacana ilmiah mereka terlihat sejak turunnya risalah Islam, saat Rasullullah menerima wahyu pertama kali di Gua Hira. Perintah iqra melecut kaum Muslim yang tertinggal jauh peradabannya dengan percaturan umat di dunia. Bukanlah suatu kebetulan, bila Nabi Muhammad akhirnya mampu mengarahkan para sahabat dan komunitas umat Islam pada sebuah transformasi ilmiah secara besar-besaran. Jazirah Arabia yang dahulu gersang dengan peradaban baca tulis, dalam waktu relatif singkat telah berubah menjadi masyarakat berperadaban tinggi. Kemudian kebudayaan umat Islam mencapai suatu tingkat kosmopolitanisme dalam sejarah peradaban bangsa-bangsa di permukaan bumi ini.
Asimilasi atau adaptasi mereka dengan berbagai bangsa secara ekonomi, sosial dan kultural tidaklah dipandang sesuatu yang tabu dan haram. Namun, patut dicatat, semua upaya ini sekali-kali tidaklah pernah bergeser sejengkalpun dari prinsip-prinsip dasar Islam. Meskipun bergumul dengan aneka pemikiran dan tradisi budaya non-Muslim, mereka tidak pernah melampaui pesan-pesan Alquran dan hadis.
Akhirnya, akumulasi sikap ilmiah, dinamis dan energik pada kaum salaf ini membangkitkan sikap kritis dalam menanggapi persoalan. Sikap ini misalnya, mereka buktikan dalam metode jarh wa ta’dil sebagai sebuah metode kritik hadis yang belaku di kalangan para ahli hadis. Sikap-sikap mulia dari salafiyah inilah yang akan mendukung tegaknya nilai-nilai kemanusiaan yang kini menjadi idaman bagi segenap umat manusia.
Ikhtisar
- Makna salaf telah merujuk pada periode Rasulullah SAW hingga tabi’ al tabi’in.
- Ketulusan dan keikhlasan generasi salaf merupakan kunci keberhasilan dakwah mereka.
- Generasi salaf mampu mengangkat peradaban Islam pada kosmopolitanisme peradaban dunia.
- Upaya generasi salaf untuk berdialog dengan peradaban lain tidak pernah sedikitpun bergeser dari pesan-pesan Alquran dan hadis.
(sumber:KH.Said Aqil Siradj)

Baca Selengkapnya......
Yang Hidup, Saksi Yang Mati
07.48 | Author: Al Faqir Muhtar Lutfi, S. H. I

Suatu waktu, lewatlah iring-iringan yang sedang mengusung jenazah seseorang menuju tempat peristirahatannya yang terakhir. Orang-orang yang melihat iring-iringan iru secara spontan memuji kebaikan jenazah selagi dia masih hidup. Mendengar itu Nabi bersabda :
“pastilah akan mendapatkannya”

Tak lama lagi kemudian, tampak lagi iring-iringan yang lewat megususng jenazah seseorang. Kal ini orang yang mengetahui siapa jenazah yang sedang diusung itu secara spontan menyebut-nyebut keburukan selagi almarhum hidup. Mendengar itu Nabi bersabda lagi.
“pastilah akan mendapatkannya”
Mendengar Nabi dua kali bersabda itu, Umar bertanya kepada beliau gerangan arti dari sabda itu.
“Apa yang pasti, wahai Rasululah?”
Nabi memberi penjelasannya.
“Yang Kalian puji kebaikannya, pastilah akan mendapat surge. Demikian pula yang kalian puji kejelekannya, pastilah akan mendapat neraka.”
Nabi terus melanjutkan sabdanya.
“Kalian akan menjadi saksi Allah di bumi”

Baca Selengkapnya......
Mau Bercanda???
15.18 | Author: Al Faqir Muhtar Lutfi, S. H. I

NTAR AJA AH…. SHOLAT KAN  NOMOR DUA ! BOLEH DI LANGGAR PULA…
Kata-kata seperti itu sering terdengar di kalangan kaum muslimin bukan hanya sekarang namun sudah cukup lama, seperti pernah ada yang melencengkan ucapan Assalamu’alaikum dengan ucapan atau kalimat yang lain. Hal ini sangat ironis dan menyakitkan hati, kenapa dengan sangat gampangnya kalimat itu keluar dari mulut seorang muslim yang seharusnya mengangungkan agamanya sendiri.
Bolehlah diterima alasan: itu kan cuma untuk bercanda, dan hal itu kan maksudnya sholat itu nomor dua, yang pertama itu kan syahadat  dan langgar adalah nama lain dari musholla. Itu betul, namun mari kita fikirkan lebih mendalam dan tenang serta dengan hati yang jernih, apa efek sampingnya ya…?.

Pertimbangkanlah beberapa hal berikut :
1. Kalimat yang kita ucapkan itu bukan hanya didengar oleh kawan kita yang mengerti maksud lelucon kita, namun masih ada orang lain yang secara tidak kita sadari ikut mendengarkan dan hanya menyerap apa yang dia dengar saja tanpa mengklarifikasi apa maksudya. Hati-hati lho…..kalau orang itu sampai males sholat dengan dalil “ kata si anu sholat kan nomor dua…jadi ga usah buru-buru” hayoo…. Situ mau tanggung jawab ga…?
2. Ini yang lebih penting. Coba renungkan apa yang telah dikatakan oleh Nabi kita belasan abad yang lalu:
إن العبد ليتكلم بالكلمة من رضوان الله لا يلقى لها بالا يرفعه الله بها درجات وإن العبد ليتكلم بالكلمة من سخط الله لا يلقي لها بالا يهوي بها في جهنم ( رواه البخاري )
“Sesungguhnya, seorang hamba apabila ia berucap sebuah kalimat yang diridhoi Allah, meskipun yang dia tidak sangka (sepele) niscaya Allah akan angkat derajatnya dikarenakan kalimat itu. Sebaliknya, jika seorang hamba berucap sebuah kalimat yang sepele (sekedar bercanda) namun membuat Allah murka, maka kalimat itu akan menjerumuskannya ke dalam neraka”
( HR. Bukhori)
 
Hadis yang disampaikan oleh Abu Huroiroh ini menjelaskan bahwa, ketika seseorang berucap sebuah kalimat yang mungkin menurut dia ga ngefek (becanda) namun sebetulnya hal itu bisa membuat Allah Ridho, maka hal itu bisa membuat seseorang terangkat derajatnya. Sep: ketika kita lewat di depan orang yang lagi pada nongkrong di pinggir jalan, sambil iseng kita bilang “ daripada nongkrong mendingan ngaji noh kaya orang-orang” yang padahal kita sendiri juga ga ngelakuinnya dan itu murni becandaan. Tapi ternyata kalimat itu didengarkan dan diamalkan oleh orang lain. Jadilah dia sebagai amalan pengangkat derajat kita.
Sebaliknya jika kita mengeluarkan kalimat sepele yang salah seperti yang sudah kita bahas, maka tinggal tunggu dah apa yang akan terjadi...( ga nakut-nakutin lho...)
3. Hati-hati terhadap orang kafir dan misionaris yang mereka selalu mencari celah tuk menghancurkan agama kita, sebab dengan kelalain kita, merupakan sumber kekuatan buat mereka untuk menghancurkan kita. WASPADALAH...WASPADALAH...WASPADALAH....
 
Bukan bermaksud untuk ngelarang bercanda ato lelucon nih.....tapi cuma harus lebih santun dan beradab secara agama aja OK !
Silahkan aja bercanda ! asal jangan kelewatan dan menjatuhkan agama kita sendiri, ya kan... ya dong...! Nabi juga pernah koq bercanda tapi yang haq.
Jadi..... have fun.....!
 

Baca Selengkapnya......
Pentingnya Menjaga Lidah
14.34 | Author: Al Faqir Muhtar Lutfi, S. H. I

Manusia di dalam kehidupan ini tidak terlepas dari status sebagai makhluk pribadi dan makhluk sosial, sehingga tidak bisa lepas dari keterlibatan orang lain demi kelangsungan hidupnya. Agar dapat berlangsungnya kehidupan bersosial dalam mesyarakat diperlukan sebuah aturan atau norma yang dapat mengontrol diri ini dari segala sesuatu yang dapat merugikan, Islam pun sudah mengatur hal ini dengan jelas, karena selain mengajarkan masalah ibadah, Islam juga mengajarkan tentang aturan-aturan dalam kehidupan bermasyarakat.

Sekian banyak aturan yang telah diajarkan Nabi Muhammad SAW ,agar kita menjadi orang yang selamat di dunia dan akhirat di antaranya yaitu menjaga lisan dari segala sesuatu yang tidak bermanfaat, karena lisan adalah salah satu organ tubuh manusia yang sangat berbahaya jika tidak dijaga dengan sebaik-baiknya. Imam Syafi’i pernah berkata dalam syairnya :
احفظ لسانك أيّها الإنسان    لا يلد غنّك  إنّه ثعبان  
                            كم في المقابر من قتيل لسانه     كانت تهاب لقاءه الأقران
“Jagalah lisanmu wahai kawan, karena akibatnya lebih berbahaya dari sengatan ular yang berbisa “
“Betapa banyak orang terbunuh lantaran lidahnya, sehingga teman yang paling akrab pun bisa berantakan karenanya”
 
Rasulullah SAW juga pernah bersabda:
عن أبي هريرة رضي الله عنه قال:أنّ النّبيّ صلّى الله عليه وسلّم قال: "من كان يؤمن بالله واليوم الآخر فليكرم جاره وليكرم ضيفه وليقل خيرا أو ليسكت"
Berkata Abu Hurairah Ra. Bahwa Nabi Muhammad SAW bersabda: “Orang yang beriman kepada Allah dan hari akhir, hendaklah ia mulyakan tetangganya, tamunya serta berkatalah yang baik-baik atau diam”
 
Syeikh Nasir bin Muhammad bin Ibrahim As Samarqondi juga mengutip bahwa para orang arif juga bernah berkata : ada enam hal yang menyebabkan seseorang dapat diketahui bahwa dia adalah orang yang bodoh, di antaranya:
 
1. Marah Bukan Pada Tempatnya
Maksudnya adalah selalu marah dalam setiap keadaan, baik terhadap manusia, hewan dan apapun yang dihadapkan kepadanya.
2. Berbicara Yang Tidak Bermanfaat
Maka bagi orang yang berakal hendaklah tidak berbicara kecuali ada manfaatnya.
3. Melakukan Pemberian Bukan Pada Tempatnya.
Maksudnya adalah selalu mengalokasikan, menyalirkan harta bukan pada sesuatu yang sepantasnya sehingga menimbulkan kesan sia-sia atau mubadzir.
4. Selalu Menebarkan Kejahatan Terhadap Setiap Orang
Bisa juga difahami dengan selalu menyebarkan setiap kejahatan atau keburukan yang pernah dia perbuat.
5. Percaya Kepada Semua Orang
Hal ini mengakibatkan bisa saja dia ditipu atau “diklecein” orang lain
6. Tidak Bisa Membedakan Antara Kawan dan Lawan.
Seharusnya bagi orang yang cerdas adalah ia tahu mana kawan dan lawannya sehingga ia tahu siapa yang harus ditaati dan siapa saja yang harus ia hindari.
 
Di dalam Tanbiihul Ghafilin juga disebutkan bahwa Nabi Isa AS, berkata : “setiap pembicaraan yang tidak ada unsur dzikrullahnya merupakan hal yang tidak berguna, setiap  diam yang tidak berfikir merupakan suatu kelalaian, dan orang yang senang memperhatikan atau melihat suatu kejadian namun tidak mengambil pelajaran adalah merupakan tindakan yang sia-sia.”
Sedemikian sangat pentingnya menjaga lisan ini sehingga para Nabi dan Ulama banyak memberikan penjelasan dan keterangan agar kita bisa mengamalkan mana yang seharusnya kita amalkan sehingga kita tidak termasuk orang-orang yang bodoh. Bahkan menjaga lisan juga termasuk yang membedakan kita dengan orang munafik sebagaimana yang dikatakan oleh imam al Auza’i, bahwa orang mu’min adalah orang yang sedikit bicara namun banyak kerja, sebaliknya orang munafik, yaitu banyak bicara dan sedikit bekerja.
 

Baca Selengkapnya......
Nikah Beda Agama III
13.58 | Author: Al Faqir Muhtar Lutfi, S. H. I

Pada dasarnya kami sependapat terhadap pendapat para ulama yang membolehkan menikahi wanita kitabiyah berdasarkan argumen dan dalil yang telah dijelaskan di atas, dengan maksud agar tidak menyalahi nash yang telah ada dan bersifat qoth’i tersebut. Namun,

apabila masalah tersebut dikembangkan dan diterapkan untuk masa sekarang ini maka akan terbentur kepada masalah apakah wanita-wanita Nasrani dan Yahudi yang ada pada masa sekarang masih termasuk kepada golongan ahlul kitab atau tidak yang sebagaimana dimaksud ayat 5 surat Al Maidah. Karena dari sebagian pendapat ulama Syafi’iyah mereka memberikan penjelasan bahwa wanita kitabiyah itu merupakan golongan ahli kitab yang ada sebelum diutusnya Rasul sehingga dengan kata lain ahli kitab yang ada setelah zaman Rasul yang tidak beriman kepada beliau, maka mereka tidak termasuk golongan ahlul kitab tersebut .
Dari beberapa argumen dan dalil yang ulama berikan tentang kebolehan nikah tersebut dapat digaris bawahi bahwa mayoritas mereka membolehkannya dalam status makruh, dan hal ini juga atas didasari suatu kepentingan yang mengutamakan kemashalatan dan meniadakan mafsadat. Maka pemakalah lebih condong untuk berpendapat bahwa menikahi wanita kitabiyah yang ada pada masa sekarang ini hukumnya adalah haram, sebagai suatu tindakan sadduzzari’ah, agar tidak terjadi madharat lanjutan yang diakibatkan dari pernikahan terhadap wanita kitabiyah tersebut. Karena ada beberapa efek samping yang akan terjadi jika kita lebih mengutamakan menikah dengan wanita kitabiyah diantaranya adalah jika dalam negara tersebut jumlah lelaki muslim lebih sedikit, maka yang dikhawatirkan adalah wanita muslimah yang ada akan banyak yang ”perawan tua” sehingga akan ada kemungkinan mereka juga tidak mau menikah dengan lelaki muslim.sehingga Yusuf Qordhowi pun dalam menilai hal ini karena dikhawatirkan akan timbulnya masyaqqoh,beliau mengharamkan pria muslim menikah dengan selain muslimah sekalipun dia itu kitabiyah .
Untuk masalah ini MUI juga telah mengeluarkan fatwa pada tanggal 26 Mei-1 Juni 1980 bahwa pernikahan muslim terhadap non muslimah itu hukumnya haram .Hal senada juga telah dikeluarkan dalam mauktamar NU tahun 1962 dan Muktamar Thoriqoh Muktabaroh tahun 1968 .

Baca Selengkapnya......
Nikah Beda Agama II
13.58 | Author: Al Faqir Muhtar Lutfi, S. H. I

Pendapat Para Ulama Mengenai Status Hukum Menikahi Wanita Non Muslimah
Jumhur ulama termasuk mazhab yang empat sepakat bahwa menikahi wanita musyrikat, atheis dan murtaddah hukumnya adalah haram. Pengaharaman menikahi wanita musyrikat ini didasari oleh firman Allah yang termaktub dalam surat Al Baqarah ayat 221 di atas. Sedangkan wanita atheis haram untuk dikawini karena mereka lebih jahat daripada wanita musyrikah.

Wanita musyrikah masih mempercayai adanya Tuhan yang menghidupkan dan mematikan, hanya saja mereka menduakan dan menyekutukannya dengan yang lain. Sedangkan wanita atheis tidak mempercayai adanya Tuhan sama sekali. Adapun wanita murtaddah yaitu yang telah keluar dari agama Islam, tidak boleh dikawini sama sekali walaupun kemudian dia memeluk agama ahli kitab , sebab dengan kemurtadannya itu mengakibatkan adanya hukum bunuh atas dirinya, berdasarkan sabda Rasulullah SAW :
من بدّ ل دينه فاقتلوه
“siapa saja yang merubah agamanya maka bunuhlah dia”.
Namun, ketika menetapkan status hukum terhadap pernikahan muslim dengan kitabiyah para ulama berbeda pendapat. Sehingga mereka menjadi dua golongan besar, satu golongan adalah pendapat yang tidak membolehkan dan golongan lain membolehkan menikahi perempuan kitabiyah.

1. Pendapat Yang Tidak Membolehkan
Pendapat ulama yang tidak memperbolehkan pernikahan macam ini di antaranya adalah pendapatnya Syiah Imamiyah dan sebagian Syiah Zaidiyah , menurut mereka bahwa pernikahan seorang muslim dengan wanita non muslimah itu hukumnya haram secara mutlak, terlepas apakah si wanita itu dari golongan Atheis, Majusi, Murtaddah, Nasrani ataupun Yahudi. Karena bagi mereka kesemua golongan yang disebutkan di atas tadi merupakan satu golongan besar yang sama yaitu golongan orang kafir dan golongan orang musyrik. Mereka menyandarkan pendapatnya kepada apa yang telah dikatakan oleh Abdullah Bin Umar Ra. Sebagaimana yang telah dikutip oleh Muhammad Ali as Shobbuni dari kitab Fathul Bari Syarh Shahih Bukhori .
حرّم الله تعال المشركات على المسلمين ولا اعرف شيئا من الإشراك أعظم من أن تقول المرأة : ربهاعيسى,...
“Allah Ta’ala telah mengharamkan wanita musyrikat untuk kaum muslimin dan tidak aku ketahui perbuatan syirik yang palinh besar selain bahwa seseorang berkata bahwaTuhannya adalah Isa,...(Al Hadis).

Mereka juga berpendapat bahwa ayat 5 dari surat al Maidah yang isinya membolehkan menikahi wanita ahli kitab itu telah dinasakh oleh ayat 221 yang ada di dalam surat Al Baqarah , sehingga kebolehan yang telah ada itu berubah menjadi keharaman yang mutlak.
Imam Jalaludin Abdurrahman bin Abu Bakar as-Suyuti menyebutkan dalam karangannya ad-Dur al-Mantsur bahwa Hasan ditanya mengenai seorang lelaki yang menikahi ahli kitab dan sebaliknya. Sungguh Allah telah menciptakan banyak perempuan muslimat. Hasan menambahkan. Namun, jika pernikahan itu memang harus dilakukan maka kerjakanlah dan buatlah perjanjian dengannya dan juga pilihlah perempuan yang baik-baik jangan perempuan yang lacur .
Dari riwayat di atas juga dapat ditarik kesimpulan memang pada dasarnya, menikahi ahli kitab itu dilarang. Dan adanya kebolehan menikahi wanita ahli kitab itu dikarenakan adanya unsur darurat yang memang dalam kondisi dalam seperti ini bisa membolehkan segala sesuatu yang sebelumnya tidak diperbolehkan. Sesuai dengan kaidah
الضّرورات تبيح المحظورات

“segala sesuatu yang daruarat itu bisa membolehkan segala sesuatu yang dilarang”
Sehingga setelah unsur darurat itu hilang maka kembalilah hukum itu ke status asalnya yaitu tidak diperbolehkan.
Imam ar-Razi dalam tafsirnya sebagaimana dikutip oleh Abdul Mutaal Muhammad al-Jabry juga mengingatkan bahwa mayoritas ualama berpendapat pengertian kata musyrik itu mencakup di dalamnya orang-orang kafir dari ahli kitab, ada beberapa bukti menurutnya yang bisa memperkuat pendapat ini.
Pertama, firman Allah SWT :
وَقَالَتِ الْيَهُودُ عُزَيْرٌ ابْنُ اللَّهِ وَقَالَتِ النَّصَارَى الْمَسِيحُ ابْنُ اللَّهِ ذَلِكَ قَوْلُهُمْ بِأَفْوَاهِهِمْ يُضَاهِئُونَ قَوْلَ الَّذِينَ كَفَرُوا مِنْ قَبْلُ قَاتَلَهُمُ اللَّهُ أَنَّى يُؤْفَكُونَ .اتَّخَذُوا أَحْبَارَهُمْ وَرُهْبَانَهُمْ أَرْبَابًا مِنْ دُونِ اللَّهِ وَالْمَسِيحَ ابْنَ مَرْيَمَ وَمَا أُمِرُوا إِلَّا لِيَعْبُدُوا إِلَهًا وَاحِدًا لَا إِلَهَ إِلَّا هُوَ سُبْحَانَهُ عَمَّا يُشْرِكُونَ ( التوبة : 30-31 )
“Orang-orang Yahudi berkata : Uzair itu putera Allah dan orang nasrani berkata : al Masih itu putera Allah. Demikianlah ucapan mereka dengan mulut-mulut mereka. Mereka meniru perkataan orang-orang kafir terdahulu, dilaknatlah mereka sebagaimana mereka berpaling. Mereka menjadikan orang-orang alimnya dan rahib-rahib mereka sebagai Tuhan selain Allah dan juga mereka mempertuhankan al Masih putera Maryam, padahal mereka hanyadisuruh menyembah Tuhan Yang Maha Esa. Tidak ada Tuhan selain Dia, Maha Suci Allah dari apa yang mereka persekutukan. ( QS. At-Taubah : 30-31)

Ayat ini menyatakan denga tegas bahwa orang-orang Nasrani dan Yahudi termasuk oarng-orang musyrik.
Kedua. Firman Allah SWT :
إِنَّ اللَّهَ لَا يَغْفِرُ أَنْ يُشْرَكَ بِهِ وَيَغْفِرُ مَا دُونَ ذَلِكَ لِمَنْ يَشَاءُ... ( النساء : 48 )
“Sesungguhnya Allah tidak akan mengampuni dosa syirik dan Dia mengampuni segala dosa yang selain syirik itu bagi siapa saja yang dikehendaki-Nya,… (QS. al- Nisa : 48 )

Ayat ini menunjukkan bahwa dosa selain syirik terkadang diampuni oleh Allah SWT, secara keseluruhan. Seandainya kekufuran orang Yahudi dan Nasrani tidak termasuk syirik, tentunya menurut pengertian ayat ini, dosa mereka akan diampuni oleh Allah secara keseluruhan, dikarenakan agamaYahudi dan Nasrani itu bathil maka tahulah kita bahwa kekufuran mereka itu termasuk syirik.
Ketiga, Firman Allah SWT :
لَقَدْ كَفَرَ الَّذِينَ قَالُوا إِنَّ اللَّهَ ثَالِثُ ثَلَاثَةٍ وَمَا مِنْ إِلَهٍ إِلَّا إِلَهٌ وَاحِدٌ... (المائدة : 73 )
“Sesungguhnya kafirlah orang-orang yang mengatakan bahwasanya Allah adalah salah satu dari yang tiga,... ( QS. al-Maidah : 73 )

Trinitas yang tersirat dalam ayat ini makin menjelaskan bahwa perbuatan orang-orang Yahudi dan Nasrani yang menyekutukan Allah dengan lainnya adalah suatu perbuatan kekufuran yang jelas kemusyrikannya .
Di dalam ad-Dur al-Mantsur juga disebutkan bahwa Abdullah bin Abbas Ra. Pernah berkata: Rasulullah SAW telah melarang untuk menikahi semua golongan wanita, kecuali mukminat yang muhajirat. Diharamkan terhadap seseorang beragama selain dengan agama Islam .
2. Pendapat Yang Membolehkan
Jumhur berpendapat bahwa keharaman nikah terhadap wanita musyrikah yang terdapat di dalam surat Al Baqarah itu sifatnya umum, kemudian ditakhsiskan dengan ayat yang ada di dalam surat Al Maidah ayat 5 yang intinya adalah mengecualikan wanita kitabiyah dari wanita musyrikah . Pembedaan kategori wanita ini juga terlihat dalam firman Allah yang lain yaitu seperti dalam ayat 105 dari surat Al Baqarah yang berbunyi:
مَا يَوَدُّ الَّذِينَ كَفَرُوا مِنْ أَهْلِ الْكِتَابِ وَلَا الْمُشْرِكِينَ أَنْ يُنَزَّلَ عَلَيْكُمْ مِنْ خَيْرٍ مِنْ رَبِّكُمْ... (البقرة :105 )
“Orang-orang kafir dari ahli kitab dan orang-orang musyrikin tiada menginginkan diturunkannya suatu kebaikan kepadamu dari Tuhanmu,... ( QS. al-Baqoroh : 105 )

Demikian juga dalam ayat-ayat yang lain selalu dipisahkan antara kategori musyrik dengan ahli kitab, ini menandakan bahwa ahli kitab ini bukanlah musyrik sehingga dalam hukumnya juga memiliki status yang berbeda.
Berdasarkan surat Al maidah ayat 5 tadi maka jumhur berpendapat bahwa menikahi kitabiyah hukumnya adalah boleh sebagaimana diperbolehkannya memakan hewan yang mereka sembelih.
Sayyid Sabiq menyebutkan pendapat ini juga merupakan ijma’ para sahabat dan tabi’in, diantaranya, Usman, Tolhah, Ibn Abbas,Jabir, Hudzaifah, dari golongan lainnya. Para ulama juga menetapkan kebolehan ini berdasarkan apa yang telah para sahabat dan tabi’in perbuat, sebagaimana Sayyidina Utsman menikahi perempuan Nasrani yang bernama Nailah, Hudzaifah juga menikahi seorang wanita dari golongan Yahudi , walaupun pada saat itu Sayyidina Umar memberikan peringatan, namun jumhur berpendapat, peringatan atau larangan yang diberikan Sayyidina Umar hanyalah merupakan tindakan himbauan dan dikhawatirkan akan terjadi fitnah bagi keturunan mereka, bukan larangan mutlak yang menandakan bahwa pernikahan muslim dengan wanita kitabiyah itu hukumnya boleh.
Namun, sekalipun jumhur telah menetapkan kebolehan ini, mereka masih berselisih pendapat apakah kebolehan tersebut bersifat mutlak atau ada hal lainnya. Abdurrahman Al Jaziry menjabarkan tentang ikhtilafnya sebagai berikut.
a. Golongan Hanafiyah
Menurut mereka menikahi wanita kitabiyah itu diperbolehkan dan statusnya makruh jika dilakukan terhadap kitabiyah yang dzimmi, dan dimungkinkan bisa ditegakkan hukum Islam. Namun, jika dilakukan terhadap kafir harbi dan apalagi di negara yang non Islam maka mereka berpendapat hukumnya menjadi haram, karena hal ini akan lebih memungkinkan terbukanya fitnah (kerusakan), oleh karena nanti anak yang dilahirkan akan besar kemungkinannya untuk enggan terhadap agama Islam dikarenakan mereka tinggal bukan di lingkungan yang islami.
b. Golongan Malikiyah
Bagi mereka ada dua pendapat. Pertama; menikahi wanita kitabiyah itu hukumnya makruh secara mutlak, baik termasuk golongan dzimmi maupun harbi. Namun, apabila berada di negara non Islam itu lebih dimakruhkan lagi. Kedua; tidak makruh menikahi wanita kitabiyah, hal ini didasari oleh dzahir firman Allah yang membolehkannya secara umum tanpa persyaratan apapun.
c. Golongan Syafi’iyyah
Bagi mereka dimakruhkan menikahi wanita kitabiyah di negara Islam, apalagi di negara non Islam, sebagaimana dua pendapat di atas. Bagi Syafi’iyah pernikahan macam ini dibenarkan walaupun makruh, jika memenuhi syarat sebagai berikut :
1) Si wanita kitabiyah itu bisa diharapkan (besar kemungkinannya) untuk
masuk Islam.
2) Si lelaki muslim tersebut tidak mendapati wanita muslimah yang layak dan pantas untuk dia.
3) Dikhawatirkan apabila pernikahan tersebut tidak dilangsungkan maka akan terjadi perbuatan zina.

d. Golongan Hanabilah
Mereka berpendapat halal menikahi wanita kitabiyah tanpa ada kemakruhan di dalamnya, karena ayat yang membolehkan itu bersifat umum .

Baca Selengkapnya......
Nikah Beda Agama I
13.58 | Author: Al Faqir Muhtar Lutfi, S. H. I

Penikahan merupakan suatu tahap proses kehidupan manusia yang pada umumnya akan dilalui oleh setiap insan. Kehidupan dunia ini bagaikan lautan samudera yang sangat luas dan untuk mengarunginya kita harus memiliki sebuah kapal ataupun bahtera yang diperawaki dengan orang-orang yang tepat di dalamnya. Begitulah kehidupan rumah tangga dalam kehidupan ini, ibaratnya bagai sebuah bahtera yang akan mengarungi lautan dunia nan luas.

Islam sebagai ajaran yang sangat sempurna mengajarkan bagaimana cara agar kita dapat mengarungi lautan tersebut dengan selamat sampai tujuan, yaitu di antaranya dengan memilih pendamping nahkoda yang memang berkualitas baik dari segi keturunan, fisik, psikis, dan moral religius. Dan Islam lebih mengedepankan yang berkaiatan dengan masalah agama, karena hal ini sangat urgen dan rentan, karena selain menyangkut akidah si pasangan nahkoda ( suami isteri ) tersebut, hal ini juga akan berefek samping kepada keturunan mereka yang akan menjadi awak dari kapal tersebut.
Kini, bahkan memang sejak lama telah banyak kasus mengenai perkawinan beda agama, baik di negara kita maupun di negara lainnya. Maka dalam kesempatan ini pemakalah akan mencoba mengupas kembali bagaimana Islam menyikapi permasalahan ini dilihat dari sudut pandang perbandingannya ( Muqoronah ).

PEMBAHASAN
A. Dasar Hukum serta Pengertian Wanita Musyrikah dan Kitabiyah
Mengenai status hukum menikahi perempuan musyrikah, didasari firman Allah SWT:
وَلَا تَنْكِحُوا الْمُشْرِكَاتِ حَتَّى يُؤْمِنَّ وَلَأَمَةٌ مُؤْمِنَةٌ خَيْرٌ مِنْ مُشْرِكَةٍ وَلَوْ أَعْجَبَتْكُمْ وَلَا تُنْكِحُوا الْمُشْرِكِينَ حَتَّى يُؤْمِنُوا وَلَعَبْدٌ مُؤْمِنٌ خَيْرٌ مِنْ مُشْرِكٍ وَلَوْ أَعْجَبَكُمْ أُولَئِكَ يَدْعُونَ إِلَى النَّارِ وَاللَّهُ يَدْعُو إِلَى الْجَنَّةِ وَالْمَغْفِرَةِ بِإِذْنِهِ وَيُبَيِّنُ آَيَاتِهِ لِلنَّاسِ لَعَلَّهُمْ يَتَذَكَّرُونَ (البقرة :221)
“Janganlah kalian menikahio perempuan musyrikah sehingga mereka beriman dan sungguh budak yang beriman itu terlebih baik dibandingkan dengan perempuan musyrikat sekalipun dia membuatmu kagum, dan janganlahkalian menikahi (anak perempuan kalian)dengan lelaki musyrik sehingga mereka beriman, sunguh budak lelaki yang beriman itu lebih baik dari pada lelaki musyrik sekalipun dia membuatmu terkagum, mereka itu membawamu ke neraka, sedangkan Allah akan membawamu ke arah syurga dan pengampunan dengan izin-Nya. Dan Allah menjelaskan tanda-tandanya kepada manusia supaya mereka berfikir.” (QS. al- Baqoroh : 221)
Mengenai ayat di atas Sa’id bin Jubeir mengatakan bahwa makna المشركات adalah para wanita penyembah berhala. Hal senada juga diungkapkan oleh Ibrahim ketika ditanya oleh Hammad. Beliau menjelaskan bahwa المشركاتadalah orang-orang Majusi dan para penyembah berhala. Ada juga yang mendefinisikan kata المشركاتdengan semua pemeluk agama yang tidak mempunyai kitab suci .
Dari beberapa penjelasan para ulama di atas dapat ditarik kesimpulan bahwa yang dimaksud dengan المشركات adalah : para wanita pemeluk agama selain Islam dan tidak memiliki kitab suci, seperti Majusi, para penyembah berhala dan sebagainya. Berbeda dengan ahli kitab ( kitabiyah ) yang di antaranya adalah Nasrani dan Yahudi karena mereka adalah pemeluk agama Samawi dan memiliki kitab suci sehingga para ulama tidak memasukkannya ke dalam golongan المشركات dan memiliki status hukum yang berbeda juga. Firman Allah SWT :
الْيَوْمَ أُحِلَّ لَكُمُ الطَّيِّبَاتُ وَطَعَامُ الَّذِينَ أُوتُوا الْكِتَابَ حِلٌّ لَكُمْ وَطَعَامُكُمْ حِلٌّ لَهُمْ وَالْمُحْصَنَاتُ مِنَ الْمُؤْمِنَاتِ وَالْمُحْصَنَاتُ مِنَ الَّذِينَ أُوتُوا الْكِتَابَ مِنْ قَبْلِكُمْ... (المائدة : 5 )
“Pada hari ini dihalalkan bagimu mkakan yang baik-baik dan makanan (sembelihan) orang-orang yang diberi al Kitabitu halal bagimu dan makanan kamu halal pula bagi mereka. Dan dihalalkan bagimu mengawini wanita-wanita yang menjaga kehormatan di antara wanita-wanita yang beriman dan wanita-wanita yang menjaga kehormatan di antara orang-orang yang diberikan kitab sebelum kamu,... ( QS. al-Maidah : 5 )

Namun, ada juga para ulama yang tidak membedakan antara المشركاتdengan wanita kitabiyah, bagi mereka yang disebut المشركاتdengan adalah semua wanita pemeluk agama selain Islam tanpa terkecuali termasuk ahli kitab ( kitabiyah ). Perbedaan pendapat ini Insya Allah akan diurai lebih mendalam pada pembahsan berikutnya.

Baca Selengkapnya......
Konsep Qoth'i dan Zhonny Dalam Ushul Fiqh
13.27 | Author: Al Faqir Muhtar Lutfi, S. H. I

Sudah menjadi kesepakatan jumhur ulama bahwa al-Qur’an dan as-Sunnah merupakan sumber hukum Islam yang permanen. Namun dari sudut pandang ajaran hukum Islam, ia ada kalanya bersifat Absolut/mutlaq, yakni ketentuan hukumnya sudut permanent dan tidak dapat kompromi untuk dapat berubah berdasarkan objek permasalahan. Termasuk kelompok ini adalah ajaran agama Islam yang tercantum dalam al-Qur’an dan as-Sunnah mutawattir yang penunjukanya telah jelas dan pasti (Qath’I al – dalalah).
Dan ada juga yang bersifat , yakni bisa berubah berdasarkan objek permasalahan (tempat,waktu dan keadaan). Termasuk kelompok ini adalah ajaran islam yang masih debatable dikalangan mujtahid yang yang dihasilkan melalui proses ijtihadi.
Di kalangan ahli Ushul Fiqh dan pembaharuan dalam Islam, pembahasan tersebut sudah menjadi kerangka berfikir yang sering muncul. Ia biasa menyebutkan bahwa hkum islam dibedakan antara Syari’at Islam (bersifat mutlaq) di satu pihak dan Fiqh Islam (bersifat relatif di pihak lain) .

PEMBAHASAN
Pengertian dan Pembagian Dalalah
Yang dimaksud dengan dalalah dalam konteks pemahaman makna atau pengertian dari nash ialah petunjuk yang dapat dijadikan pegangan untuk membawa pengertian yang dikehendaki. Dengan kata lain, dalalah berkaitan dengan bagaimana pengertian atau makna yang ditunjuk oleh nash dapat dipahami. Menurut istilah Muhammad al-Jarjani dalam kitab al-Ta’arif disebut dengan :
كيفية دلالة اللفظ على المعنى

Qath’I dan Zhanniy
Secara garis besar dikalangan ahli uhsul fiqh dikenal dikotomi antara dalil Qath’I dan dalil Zhanniy, baik dari segi eksistensinya (wurud) maupun penunjukannya (dalalah) .
Dalil Qath’I adalah setiap nash yang mempunyai makna secara pasti dan jelas (tanpa ta’wil), baik ditinjau dari segi asbabul wurud (sebab turunnya), maupun dari segi dalalah (penunjukannya).
Sedangkan dalil Zhanny adalah setiap nash yang mempunyai makna tidak pasti (dugaan) yang masih kemungkinan terjadi proses ta’wil (perubahan), baik dari segi wurud (keberadaannya) maupun dalalah (pemahaman dan penunjukkan maknanya).
Jika memahami nash-nash ditinjau dari segi Wurud (sebab datang dan turunnya) terbagi menjadi dua bagian :
1. Qhat’I al Wurud
2. Zhanniy al Wurud
Nash yang Qath’I al Wurud adalah nash-nash yang dilihat dari segi turunnya, ketetapannya dan penukilannya secara jelas dan pasti. Menurut Safi Hasan Abu Thalib bahwa nash- nash yang sampai kepada kita adalah sudah pasti tidak dapat diragukan lagi karena diterima secara mutawatir.
هو ما نقل الينا بطريق التواتر
Seperti al Qur’an bersifat Qath’i al Wurud sebab turunnya, ketetapannya dan penukilannya dilakukan mulai diturunkan Allah kepada Rasul-Nya yang disampaikan kepada umatnya secara estafet tanpa perubahan dan pergantian. Demikian juga as-Sunnah yang mutawatir bersifat Qath’I al Wurud, sebab periwatannya mutawatir (berlangsung terus menerus) mulai dari Rasul, para sahabat, tabi”in, ulama dan seterusnya sampai kepada kita. Di samping juga ada yang bersifat Zhanniy al-Wurud (sunnah masyhur dan ahad).
Nash yang Zhanniy al-Wurud adalah nash-nash yang datang dan penukilannya belum jelas dan masih dalam dugaan. Safi Hasan Abu Thalib menyebutnya dengan :
هو الذي قد يثور شك حول ثبوته لانه لم ينقل الينا بطريق التواتر
Nash dalam kategori ini adalah hanya as-Sunnah yang masyhur dan ahad, meskipun sumber datangnya dari Rasulullah namun sanadnya tidak mendatangkan kepastian dan masih merupakan dugaan karena tidak dinukil secara mutawatir. Al-Qur’an dan as-Sunnah Mutawatir tidak termasuk dalam kelompok ini.
Adapun pemahaman nash-nash yang ditinjau dari segi dalalah (penunjukannya) juga terbagi menjadi dua bagian:
1. Qath’I al-Dalalah
2. Zhanniy al-Dalalah
Nash yang Qath’i a-Dalalah adalah nash-nash yang menunjukkan adanya makna, yang dapat dipahami dengan pemahaman tertentu, atau tidak mungkin menerima adanya ta’wil, atau tidak ada arti selain pemahaman dari makna tersebut . Safi Hasan Abu Thalib menjelaskan bahwa tema yang disebutkan ini ialah kelompok nash-nash yang hanya menunjukkan kepada pengertian yang satu saja atau tertentu.
هو النصوص التي لا تدل الا على معنى واحد
Sementara itu, Imam Abu Zahra dalam bukunya Ushul Fiqh menyebutnya dengan:
الفاظ بينة الدلالة واضعة لا تحتاج الى بيان
“Lafadz-lafadz nash yang menunjukkan kepada pengertian yang jelas, tegas serta tidak memerlukan penjelasan lain.”
Al-Qur’an dan as-Sunnah keduanya juga mengandung pemahaman Qath’i al-Dalalah, namun hanya as-sunnah tingkat Mutawatir sajalah yang penunjukkannya (dalalah) sama dengan al-Qur’an. Sedangkan as-Sunnah yang di bawah peringkat mutawatir termasuk kelompok Zhanniy al-dalalah .

Adapun nash yang Zhanniy al-Dalalah adalah nash-nash yang menunjukkan atas makna, tapi memungkinkan di ta’wil atau dirubah dari makna asalnya menjadi makna yang lain. Baik al-Qur’an maupun as-Sunnah mengandung makna Zhanniy al-Dalalah. Mengenai contoh dari keduanya akan dijelaskan pada pembahasan berikut.

Al-Qur’an dan Dalalahnya
Para ahli hukum Islam sepakat mengenai penggunaan al-qur’an sebagai sumber hukum yang utama dalam menentukan dan mengambil kesimpulanhukum. Mengenai tema-tema di atas dan hubungannya dengan nash al-Qur’an, maka seluruh nash al-qur’an adalah qath’i al-Wurud dari segi eksistensinya dan ketetapan turunnya karena al-Qur’an itu sampai kepada kita dengan cara mutawatir yang tidak diragukan kebenarannya dari ayat yang pertama sampai ayat yang terakhir diturunkan. Akan tetapi ayat hukum yang lansung menunjukkan materi hukum sangat terbatas jumlahnya. Menurut Abdul Wahab Khalaf, bahwa ayat-ayat hukum dalam bidang mu’amalat berkisar antara 230 sampai 250 ayat saja . Sedangkan jumlah ayat al-Qur’an seluruhnya lebih dari 6.000 ayat. Jadi, jumlah ayat hukum dalam al-qur’an sekitar 3-4% saja dari seluruh ayat al-Qur’an. Bahkan menurut Prof Dr. H. M. Rasjidi, ayat-ayat al-Qur’an kurang lebih 200 ayat, yakni sekitar 3% dari jumlah seluruhnya .

Selanjutnya, nash-nash al-Qur’an jika dilihat dari segi dalalah (penunjukkannya) bagi hukum di dalamnya, mengandung dua makna.
Pertama, Nash yang Qath’i al-dalalah yakni, nash yang menunjukkan makna yang pasti. Umumnya nash-nash al-Qur’an yang dikategorikan kepada Qath’i al-Dalalah ini, lafadz dan susunan kata-katanya menyebutkan angka, jumlah atau bilangan tertentu serta sifat atau nama dan jenis .
Beberapa contoh al Qur’an yang Qath’I al-dalalah sebagai berikut :


“Dan bagimu (suami) mendapat seperdua harta yang ditinggalkan oleh istri-istri kamu, jika mereka tidak mempunyai anak……. “(QS. An-Nisa':12)

Ayat tersebut berbicara tentang pembagian harta pusaka/warisan. Bahwa bagian suami (bila ditinggalkan mati istri) dengan keadaan tidak mempunyai anak, maka ia mendapat bagian seperdua, dan tidak bias dipahami dengan versi lain. Ayat diatas adalah Qath’I al dalalah, jelas dan tegas, karena terdapat kata (نصف = seperdua) yang tidak dapat dipahami dengan pengertian lain kecuali menunjukkan kepada maksud yang di kehendaki oleh kata itu sendiri, yaitu jumlah tertentu.

“perempuan yang berzina dan laki-laki yang berzina maka deralah tiap-tiap seorang dari keduanya seratus kali dera......” (QS. an-Nur :2)

Ayat di atas juga Qath’i al dalalah dari pemahamnan kata ( =seratus dera), yakni menjatuhkan hukuman pidana terhadap hukum pidana terhadap pelaku zina, baik laki-laki maupun perempuan dengan had 100 kali dera, tidak kurang tidak lebih. Begitu juga setiap nash yang menjelaskan bagian soal harta warisan, had dalam hukuman, juga mengenai nishab, semua itu telah dibatasi .

“ Dan orang-orang yang menuduh wanita-wanita yang baik-baik(berbuat zina) dan mereka tidak dapat mendatangkan empat orang saksi, maka daerah (jilid) mereka yang menuduh itu sebanyak delapan piluh kali derah.(QS. an-Nur :4)
Dalam ayat diatas terdapat kata-kata ( اربعة شهداء = empat orang saksi) yang menunjukan bilangan atau angka yang sudah pasti. Nash-nash al-Qur’an yang dikatagorikan seperti contoh diatas, para ulama ushul sepakat dan tak seorang pun menolaknya bahwa nash-nash yang qath’i al-dalalah itu sudah jelas dan pasti pengertiannya .

Kedua, Nash yang Zhanniy al-dalalah yakni, menunjukan makna yang tidak pasti atau masih dugaan dan memungkinkan terjadi ta’wil. Menurut Safi Hasan Abu Thalib, bahwa nash-nash al-Qur’an yang dikatagorikan pada kelompok kedua ini adalah bila lafadz-lafadznya diungkapkan dalam bentuk umum,musytarak,dan mutlaq. Ketiga bentuk lafadz ini dalam kaidah ushuliyyah mengandung makna atau pengertian yang banyak dan tidak tegas. Secara kuantitas jumlah nash-nash al-Qur’an yang Zhanniy al-dalalah lebih banyak dari nash yang qath’i al-dalalah, sehingga banyak menimbulkan interpretasi dan perdebatan dikalangan ulama ushul dalam mengambil kepastian hukum.
Beberapa contoh nash-nash al-qur’an yang Zhanniy al-dalalah sebagai berikut :

“Dan wanita-wanita yang ditalaq (diceraikan) oleh suami mereka, hendaklah mereka menahan diri (menunggu) selama tiga kali quru’.(QS. Al-Baqarah : 228).

Yang menjadi persoalan di dalam ayat ini bukan tiga kali quru’nya, jumlah tiga kali itu sudah jelas tapi lafadz قروء itu sendiri. Lafadz قروء jamak dari قرء adalah musytarak, yaitu mengandung arti lebih dari satu; ada yang mengartikan dengan haid ( حيض) dan ada juga yang mengartikan dengan suci ( طهر) . Keduanya dari arti lafadz قروء akan menghasilkan kesimpulan hukum yang berbeda. Maksudya jika قروء berarti’suci’ maka wanita yang ditalak suaminya itu harus menunggu tiga kali suci dan tentu masa’iddahnya lebih lama atau lebih panjang dari pada arti haid. Hal ini karena penghitunganya ditekankan setelah suci (bersih) dari haid secara berturut-turut tiga kali.

Berbeda halnya jika lafadz قروء berarti ‘haid’. Artinya, jika wanita yang ditalak oleh suaminya itu telah nyatadan terbukti haid berturut-turut tiga kali, maka habislah masa ‘iddahnya dan tidak mesti menunggu sampai ia suci (bersih).
Kalangan Hanafiyah berpendapat bahwa lafadz قروء berarti haid, karena berdasarkan qarinah bahwa sasaran ‘iddah tersebut adalah terkait dengan wanita apakah rahimnya bersih dari benih-benih kehamilan atau tidak hal ini hanya bisa dibuktikan dengan haid bukan suci.
Sementara itu dikalangan syafi’iyah berpendapat bahwa lafadz قروء berarti suci, karena qarinahnya menunjukan kata bilangan muannats (jenis perempuan) sedangkan yang dibilang (al-ma’dud) itu adalah mudzkar yaitu( طهر) .

“Allah tiadak menghukum kamu disebabkan sumpah-sumpahmu yang tidak dimaksud (untuk bersumpah), tetapi dia menghukum kamu disebabkan sumpah-sumpah yang kamu sengaja, maka kaffarat (melanggar) sumpah itu adalah memberi makan sepuluh orang miskin yaitu dari makanan yang biasa kamu berikan kepada keluargamu atau memberi pakaian kepada mereka atau memerdekakan budak. Barang siapa tidak sanggup melakukan yang demikian, maka kaffaratnya puasa selama tiga hari.”(QS.al-Maidah : 89).
Dari kata اللغو pada ayat diatas, para fuqoha telah berbeda pendapat. Madzhab Hanafi berpendapat bahwa pengertian اللغو ialah sumpah terhadap sesuatu yang disangka terjadi, tapi kenyataanya tidak. Sedang sebagian yang lain berpendapat bahwa yang dimaksud اللغو ialah sumpah yang tidak bertujuan untuk memperkuat ucapan. Misalnya dalam suatu ucapan seseorang mengatakan : “ya, demi allah,” (la wallahi),kata-kata tersebut telah biasa diucapkan tanpa memliki konotasi sebagai sumpah.
Dengan demikian dalalah kalimat اللغو adalah bersifat zhanniy. Demikian pula kalimat (عقدتم = sumpah yang disengaja) juga diperselisihkan para ulama . Juga puasa tiga hari, apakah berturut-turut atau tidak .
Masih banyak contoh lain yang harus dipahami dari nash-nash yang menunjukkan Zhanniy al-Dalalah. Karena menurut kuantitasnya, nash-nash al-qur’an yang dikategorikan kepada Zhanniy al-Dalalah ini jumlahny lebih besar dari Qath’i al-Dalalah. Maka sebuah keniscayaan jika kemudian terjadinya banyak perbedaan pendapat dikalangan mujtahid dalam mengambil kepastian hukumnya, serta beragamnya produk hukum yang dihasilkan adalah sesuatu yang tidak dapat dihindari, sehingga memenuhi khazanah intelektual muslim dalam bebagai bidang ilmu, mulai dari bidang Tafsir dan Hadits sampai bidang Filsafat, Teologi dan Hukum Islam. Dalam hubungan ini Harun Nasution secara ilustratif menyatakan : “Kelompok ajaran islam itu kecil dizaman nabi, lebih besar di zaman Khulafaurrasyidin, lebih banyak lagi di zaman Usman, begitulah selanjutnya berkembang. Akan tetapi Qur’annya itu-itu juga .

Sunnah dan Dalalahnya
Sebelum menentukan apakah sunnah dalalah Qath’i atau Zhanniy, hendaknya kita mengetahui terlebih dahulu bagian dari beberapa sunnah. Dalam pembahasan ini yang harus diketahui dari pembagian sunnah adalah ditinjau dari segi jumlah periwayatannya. Menurut para ulama bahwa sunnah dibagi menjadi tiga tingkatan :
1. Sunnah Mutawatir, yaitu sunnah (khabar) yang disampaikan secara berkesinambungan oleh orang banyak yang kuantitasnya untuk setiap sambungan mencapai jumlah tertentu yang tidak memungkinkan mereka bersepakat untuk berbohong.
2. Sunnah Masyhur, yaitu sunnah yang diterima nabi oleh beberapa orang Sahabat kemudian disampaikan kepada orang banyak yang selanjutnya disampaikan juga kepada orang banyak yang jumlahnya mencapai ukuran batas Sunnah Mutawatir.
3. Sunnah Ahad, yaitu sunnah yang diriwayatkan oleh kelompok yang tidak sampai kepada derajat mutawatir atau yang diriwayatkan oleh seseorang atau dua orang atau kelompok orang yang telah mencapai derajat mutawatir.

Perbedaan yang jelas diantara ketiganya adalah bahwa, Sunnah Mutawatir diterima dan disampaikan dari pangkal sampai keujung secara mutawatir, Sunnah Masyhur diterima dan disampaikan pada tingkat awal secara perorangan, kemudian dilanjutkan sampai keujungannya secara mutawatir. Sedangkan Sunnah Ahad diterima dan disampaikan kemudian secara beranting sampai ke ujungnya secara perorangan .
Selanjutnya, dari beberapa bagian dari Sunnah yang ada tiga tersebut dapat dikatagorikan bahwa, jika dilihat dari segi eksistensinya (Wurud) Sunnah sebagai dasar dalam penetapan hukum, maka ia dikelompokkan menjadi Qath’i al-Wurud dan Zhanniy al-Wurud.
Menurut Abdul Wahab Khalaf bahwa, Sunnah Mutawatir adalah Qath’i al-Wurud dari Rasulullah. Sebab mutawatirnya periwayatan itu dapat melahirkan ketetapan dan kepastian tentang kebenaran suatu riwayat . Dengan kata lain, Sunnah Mutawatir ini periwayatannya dilakukan oleh orang banyak dan disampaikan kepada orang banyak pula sehingga tidak mungkin akan terjadinya kebohongan kolektif.
Sementara itu, Sunnah yang dikategorikan kepada Zhanniy al-Wurud adalah Sunnah Masyhur dan Ahad. Keduanya - Masyhur dan ahad- dilihat dari segi periwayatan atau penukilannya dari nabi tidak mencapai tingkat mutawatir. Abdul Wahab Khalaf berpendapat bahwa, Sunnah Masyhur adalah qath’i al-wurud dari seorang sahabat yang menerima riwayat dari rasulullah, karena tawaturnya penukilan dari mereka, tetapi belum tentu datang dari rasulullah, sebab yang pertama kali yang menerima bukan kelompok tawatur.sehingga fuqaha Hanafiyah mengatakan bahwa Sunnah Masyhur termasuk Sunah Mutawatir yang demikian keumuman al-Qu’an ditakhsis dan kemutlakannya diberi batasan (taqyid) karena riwayat tersebut Qath’i al-wurud datang dari sahabat. Adapun Sunnah Ahad adalh Zhanniy al-wurud dari Rasulullah karena sanadnya tidak mendatangkan kepastian.
Kemudian, Sunnah dilihat dari segi dalalah (penunjukannya) dapat dibedakan kepada Qath’i al-Dalalah jika nash (makna lafadznya) tidak mungkin dita’wilkan, yakni sunnah yang dalalahnya mengandung pengertian makna yang pasti dan jelas. Sebagai contoh, dalam hadits disebutkan cara rasulullah berwudhu dengan membasuh anggota wudhu masing-masing tiga kali ثلاث مرات) ) kecuali mengusap kepala. Dalam kata (ثلاث مرات) itu menunjukkan pengertian Qath’i (pasti) dan tidak dapat diartikan kepada pengertian lain selain yang dikehendaki. Dan Sunnah yang Zhanniy al-Dalalah jika nash (makna lafadznya) mengandung pengertian makna yang mungkin terjadi ta’wil dan terdapat pengertian lain selain yang dikehendaki. Misalnya hadits tentang bacaan al fatihah dalam shalat.
لا صلاة لمن لم يقراء بفاتحة الكتاب
“tidak sah shalat bagi orang yang tidak membaca surat al fatihah”.
Membaca al fatihah dalam shalat dalalahnya Zhanniy. Sebagaiman dijelaskan oleh Zaky al-Din Sya’ban bahwa bacaan alfatihah ini dikalangan ulama menimbulkan perdebatan. kalangan jumhur fuqaha berpandapat bahwa tidak sah bagi orang yang tidak membaca al-Fatihah dalam shaltnya. Sementara itu kalangan Hanafiyah berpendapat bahwa hadits diatas adalah Zhanniy al-Dalalah, karena ada kemungkinan mengandung arti lain, yaotu bukan tidak sah shalat seseorang ia jika tidak membaca al-fatihah, tetapi menunjukkan pengertian tidak sempurna . Dengan demikian, bahwa nash-nash yang yang Zhanniy al-Dalalah memberi peluang untuk dita’wilkan atau diartikan dengan pengertian lain selain dari dasar yang dikandungnya.

KESIMPULAN
Atas dasar ini. Jika diadakan perbandingan antara nash-nash al-Qur’an dengan as-sunnah dilihat dari segi Qath’i dan Zhanniy, maka al-Qur’an seluruh nashnya adalah Qath’i al-Wurud, sedangkan dalalahnya ada yang Qathi al dalalah dan ada yang Zhanniy al-dalalah. Adapun as-sunnah ada yang qath’i al-wurud dan ada yang zhanniy al –wurud jika dilihat dari segi eksistensinya (keberadaan). Disamping itu, dari segi dalalah (penunjukkannya) ada yang Qath’i al-dalalah dan ada juga yang Zhanniy al-dalalah.

Baca Selengkapnya......
Pentingnya Menjaga Hati
02.23 | Author: Al Faqir Muhtar Lutfi, S. H. I

Rasulullah SAW belasan abad yang lalu telah bersabda:

ان في جسد ابن ادم مضغة اذا صلحت صلح لها سائر البدن واذا فسدت فسد سائر البدن ألا وهي القلب
Artinya:
“sesungguhnya di dalam tubuh manusia terdapat segumpal daging yang apabila ia baik maka baik seluruh anggota badannya, dan apabila ia rusak maka akan rusak seluruh badannya. Ketahuilah bahwasanya dia itu adalah hati”


Hadis tersebut dikutip oleh Syeikh Abdul Shomad al-Falimbani di dalam kitabnya Siroh al-Salikin .
Dari hadis di atas dapat diambil kesimpulan bahwa betapa pentimngnya posisi hati di dalm tubuh manusia. Sehingga di dalam posisinya itu dia sangat menentukan akan keberlangsungan hidup dari tubuh seseorang. Bahkan, bukan hanya itu, hati pulalah yang menentukan kualitas ibadah seseorang, sebagaimana yang telah di sepakati oleh para ulama bahwa ibadah seseorang itu tergatung pada niatnya, dan niat itu letaknya di dalam hati.
Sabda Nabi Muhammad SAW:
انما الأعمال بالنيّات,................
Artinya: “ Hanyasanya segala perbuatan itu tergantung kepada niatnya,..........”
Di dalam kitab Safinah al-Najah disebutkan:
النية محلها القلب
Artinya: “Niat itu tempatnya ada di dalam hati”.
Secara garis besar hati manusia itu tebagi menjadi dua bagian.
Pertama, hati yang ingat (Dzaakir). Maksudnya di sini adalah hati yang selalu mengingat dan berdzikir kepada Allah dalam setiap keadaan, baik dalam keadaan duduk, berdiri, maupun berbaring. Maka beruntunglah, mereka yang hatinya selalu ingat dan berdzikir kepada Allah. Bahkan di dalam al-Quran juga disebutkan tentang orang yang hatinya senantiasa ingat kepada Allah, dan diberi predikat sebagai orang-orang yang berfikir . (lihat al-Quran, Surat Ali ‘Imran ayat: 190-191)
Kedua,hati yang lalai, yaitu kebalikan dari jenis hati yang pertama, dan sangat rugi bagi mereka yang lalai hatinya. Bahkan, di dalam Tanbihul Ghafilin disebutkan bahwa kabanyakan dari manusia itu tertipu, di antaranya adalah tertipu dengan waktu luang sehingga ia lalai daripada ingat kepada Allah.

Baca Selengkapnya......
Qunut dalam Shalat Subuh
02.10 | Author: Al Faqir Muhtar Lutfi, S. H. I

Di dlm mazhab Syafie sudah disepakati bahwa membaca doa qunut dlm sembahyang Subuh , pada i'tidal rakaat kedua adalah sunat ab'ad dlm arti diberi pahala bagi orang yg mengerjakannnya dan bagi yg lupa atau lalai mengerjakannya disunatkan utk menggantikannya dgn sujud sahwi.

Tersebut dlm kitab Al-Majmu' syarah Muhazzab jilid 3 hlm.504, maksudnya:
"Dlm mazhab Syafie disunatkan qunut pada solat subuh sama ada ketika turun bencana atau tidak. Dgn hukum inilah berpegang mayoritas ulama salaf dan orang2 yg sesudah mereka atau kebanyakan dari mereka. Dan diantara yg berpendapat demikian adalah Abu Bakar As-Siddiq, Umar bin Khattab, Usman bin Affan, Ali bin Abi Talib, Ibnu Abbas, Barra' bin Azib, semoga Allah meredhai mereka semua. Ini diriwayatkan oleh Baihaqi dgn sanad2 yg sahih. Byk orang yg termasuk tabi'in dan yg sesudah mereka berpendapat demikian. Inilah juga mazhab Ibnu Abi Laila, Hasan, Ibnu Salah, Malik dan Daud."
Tersebut dlm kitab Al-Um jilid 1 hlm.205 bahawa Imam Syafieberkata,maksudnya:"Tak ada qunut dlm sembahyang lima waktu kecuali sembahyang subuh. Kecuali jika terjadi bencana maka boleh qunut pada semua sembahyang jika imam menyukai"Tersebut dlm kitab Al-Mahalli jilid 1 hlm.157, berkata Imam JalaluddinAl-Mahalli, maksudnya:"Disunatkan qunut pada i'tidal rakaat kedua drpd solat subuh dgn doa, Allahumahdini hingga akhirnya"Demikianlah keputusan dan kepastian hukum tentang qunut subuh dalam mazhab kita Syafie.
ALASAN ORANG-ORANG YG MENOLAK QUNUT
Ada orang yg berpendapat bahwa Nabi Muhammad saw melakukan qunut satu bulan sj berdasarkan hadith Anas ra, maksudnya:"Bahwasanya Nabi saw melakukan qunut selama satu bulan sesudah rukuk sambil mendoakan kecelakaan ke atas beberapa org Arab kemudian baginda meninggalkannya." Diriwayatkan oleh Bukhari dan Muslim.Kita menjawab:
Hadith daripada Anas tersebut kita akui sebagi hadith yg sahih kerana terdapat dlm kitab Bukhari dan Muslim. Akan tetapi yg menjadi permasalahan sekarang adalah kata:(thumma tarakahu= Kemudian Nabi meninggalkannya).
Apakah yg ditinggalkan oleh Nabi itu?Meninggalkan qunutkah? Atau meninggalkan berdoa yg mengandungi kecelakaan ke atas org Arab?Untuk menjawab permasalahan ini lah kita perhatikan baik2 penjelasan Imam Nawawi dlm Al-Majmu'jil.3,hlm.505 maksudnya:
"Adapun jawaban terhadap hadith Anas dan Abi Hurairah r.a dlm ucapannya dengan (thumma tarakahu) maka maksudnya adalah meninggalkan doa kecelakaan ke atas orang2 kafir itu dan meninggalkan laknat terhadap mereka sj. Bukan meninggalkan seluruh qunut atau meninggalkan qunut pada selain subuh. Pentafsiran spt ini mesti dilakukan krna hadith Anas di dlm ucapannya 'sentiasa Nabi qunut di dlm solat subuh sehingga beliau meninggal dunia'adalah sahih lagi jelas maka wajiblah menggabungkan di antara kedua-duanya."
Imam Baihaqi meriwayatkan dan Abdur Rahman bin Madiyyil, bahawasanya beliau berkata, maksudnya:"Hanyalah yg ditinggalkan oleh Nabi itu adalah melaknat."Tambahan lagi pentafsiran spt ini dijelaskan oleh riwayat Abu Hurairah ra yg berbunyi, maksudnya:"Kemudian Nabi menghentikan doa kecelakaan ke atas mereka."
Dengan demikian dapatlah dibuat kesimpulan bahwa qunut Nabi yg satu bulan itu adalah qunut nazilah dan qunut inilah yg ditinggalkan, bukan qunut pada waktu solat subuh.
2. Ada juga orang2 yg tidak menyukai qunut mengemukakan dalil hadith Saad bin Thariq yg juga bernama Abu Malik Al-Asja'i, maksudnya:"Dari Abu Malik Al-Asja'i, beliau berkata: Aku pernah bertanya kpd bapaku, wahai bapa! sesungguhnya engkau pernah solat di belakang Rasulullah saw, Abu Bakar, Usman dan Ali bin Abi Thalib di sini di kufah selama kurang lebih dari lima tahun. Adakah mereka melakukan qunut?. Dijawab oleh bapanya:"Wahai anakku, itu adalah bid'ah." Diriwayatkan oleh Tirmizi.Kita jawab:Kalau benar Saad bin Thariq berkata begini maka sungguh mengherankan krna hadith2 tentang Nabi dan para Khulafa Rasyidun yg melakukan qunut banyak sangat sama ada di dlm kitab Bukhari, Muslim, Ibnu Majah, Abu Daud, Nasa'i dan Baihaqi.Oleh itu ucapan Saad bin Thariq tersebut tidaklah diakui dan terpakai di dlm mazhab Syafie dan juga mazhab Maliki.Hal ini disebabkan oleh krna beribu-ribu orang telah melihat Nabi melakukan qunut, begitu pula sahabat baginda. Manakala hanya Thariq seorang sj yg mengatakan qunut itu sebagai amalan bid'ah.Maka dlm kss ini berlakulah kaedah usul fiqh yaitu:"Almuthbitu muqaddimun a'la annafi"Maksudnya: Orang yg menetapkan lebih didahulukan atas orang yg menafikan.Tambahan lagi orang yg mengatakan ADA jauh lebih banyak drpd orang yg mengatakan TIDAK ADA.Seperti inilah jawaban Imam Nawawi didlm Al-Majmu' jil.3,hlm.505, maksudnya:
"Dan jawaban kita terhadap hadith Saad bin Thariq adalah bahwa riwayat orang2 yg menetapkan qunut terdapat pada mereka itu tambahan ilmu dan juga mereka lebih banyak. Oleh krn itu wajiblah mendahulukan mereka"

Pensyarah hadith Turmizi yakni Ibnul 'Arabi juga memberikan komen yg sama terhadap hadith Saad bin Thariq itu. Beliau mengatakan:"Telah sah dan tetap bhawa Nabi Muhammad saw melakukan qunut dlm solat subuh, telah tetap pula bahwa Nabi ada qunut sebelum rukuk atau sesudah rukuk, telah tetap pula bahwa Nabi melakukan qunut nazilah dan para khalifah di Madinah pun melakukan qunut serta Sayyidina Umar mengatakan bahwa qunut itu sunat,telah pula diamalkan di Masjid Madinah. Oleh itu janganlah kamu tengok dan jgn pula ambil perhatian terhadap ucapan yg lain drpd itu."
Bahkan ulama ahli fiqh dari Jakarta yakni Kiyai Haji Muhammad Syafie Hazamidi dlm kitabnya Taudhihul Adillah ketika memberi komen terhadap hadith Saadbin Thariq itu berkata:"Sudah terang qunut itu bukan bid'ah menurut segala riwayat yg ada maka yg bid'ah itu adalah meragukan kesunatannya sehingga masih bertanya-tanya pula. Sudah gaharu cendana pula, sudahh tahu bertanya pula"Dgn demikian dapatlah kita fahami ketegasan Imam Uqaili yg mengatakan bahawa Abu Malik itu jangan diikuti hadithnya dlm masalah qunut.(Mizanul I'tidal jil.2,hlm.122)3. Ada juga orang mengetengahkan riwayat dari Ibnu Masu'd yg mengatakan, maksudnya: "Nabi Muhammad saw tidak pernah qunut di dlm solat apa pun."Kita jawab:
Riwayat ini menurut Imam Nawawi dlm Al-Majmu' adalah terlalu dhaif kerana di antara perawinya terdapat Muhammad bin Jabir A-Suhaimi yg ucapannya selalu ditinggalkan oleh ahli2 hadith. Tersebut dlm kitab Mizanul I'tidal karangan Az-Zahabi bahawa Muhammad bin Jabir As-Suhaimi adalah orang yg dhaif menurut perkataan Ibnu Mu'in dan Imam Nasa'i.
Imam Bukhari mengatakan: "Ingatannya tidak kuat!"Imam Abu Hatim mengatakan:"Dlm waktu yg akhir dia agak pelupa dan kitabnya telah hilang."(Mizanul I'tidal jil. 3, hlm.492)Kita juga boleh mengatakan dgn jawaban terdahulu bahwa orang yg mengatakan ADA lebih didahulukan drpd orang yg mengatakan TIDAK ADA berdasarkan kaedah:-"Al-muthbitu muqaddamun a'la annafi" maksudnya: Orang yg menetapkan lebih didahulukan atas orang yg menafikan.4. Ada juga yg mengajukan dalil bahwa Ibnu Abbas berkata, maksudnya:"Qunut pada solat subuh itu bid'ah"Kita jawab:Hadith ini dhaif sangat krna AlBaihaqi meriwayatkannya dari Abu Laila Al-Kufi dan Baihaqi sendiri mengatakan bahwa hadith ini tidak sahih krna Abu Laila itu adalah matruk(orang yg ditinggalkan hadithnya).Tambahan lagi pada hadith yg lain Ibnu Abbas sendiri mengatakan, maksudnya:"Bahwa Nabi saw melakukan qunut pada solat subuh."5. Ada juga yg membawa dalil bahwa Ummu Salamah berkata, maksudnya:"Bahwasanya Nabi saw melarang qunut pada solat subuh."Kita jawab:Hadith ini juga dhaif kerana diriwayatkan dari Muhammad bin Ya'la dari Anbasah bin Abdurrahman dari Abdullah bin Nafi dari bapanya dari Ummu Salamah.Berkata Daruqutni: Ketiga2 orang itu adalah lemah dan tidak benar kalau Nafi mendengar hadith itu dari Ummu Salamah.
Tersebut dlm Mizanul I'tidal: Muhammad bin Ya'la itu diperkata-katakan oleh Imam Bukhari bahwa dia banyak menghilangkan hadith. Abu Hatim mengatakannya matruk.(mizanul I'tidal 4/70). Anbasah bin Abdurrahman menurut Imam Bukhari hadithnya matruk. Manakala Abdullah bin Nafi adalah orang yg banyak meriwayatkan hadith munkar.(Mizanul I'tidal 2/422).
By.Pondok tampin

Baca Selengkapnya......