Konsep Qoth'i dan Zhonny Dalam Ushul Fiqh
13.27 | Author: Al Faqir Muhtar Lutfi, S. H. I

Sudah menjadi kesepakatan jumhur ulama bahwa al-Qur’an dan as-Sunnah merupakan sumber hukum Islam yang permanen. Namun dari sudut pandang ajaran hukum Islam, ia ada kalanya bersifat Absolut/mutlaq, yakni ketentuan hukumnya sudut permanent dan tidak dapat kompromi untuk dapat berubah berdasarkan objek permasalahan. Termasuk kelompok ini adalah ajaran agama Islam yang tercantum dalam al-Qur’an dan as-Sunnah mutawattir yang penunjukanya telah jelas dan pasti (Qath’I al – dalalah).
Dan ada juga yang bersifat , yakni bisa berubah berdasarkan objek permasalahan (tempat,waktu dan keadaan). Termasuk kelompok ini adalah ajaran islam yang masih debatable dikalangan mujtahid yang yang dihasilkan melalui proses ijtihadi.
Di kalangan ahli Ushul Fiqh dan pembaharuan dalam Islam, pembahasan tersebut sudah menjadi kerangka berfikir yang sering muncul. Ia biasa menyebutkan bahwa hkum islam dibedakan antara Syari’at Islam (bersifat mutlaq) di satu pihak dan Fiqh Islam (bersifat relatif di pihak lain) .

PEMBAHASAN
Pengertian dan Pembagian Dalalah
Yang dimaksud dengan dalalah dalam konteks pemahaman makna atau pengertian dari nash ialah petunjuk yang dapat dijadikan pegangan untuk membawa pengertian yang dikehendaki. Dengan kata lain, dalalah berkaitan dengan bagaimana pengertian atau makna yang ditunjuk oleh nash dapat dipahami. Menurut istilah Muhammad al-Jarjani dalam kitab al-Ta’arif disebut dengan :
كيفية دلالة اللفظ على المعنى

Qath’I dan Zhanniy
Secara garis besar dikalangan ahli uhsul fiqh dikenal dikotomi antara dalil Qath’I dan dalil Zhanniy, baik dari segi eksistensinya (wurud) maupun penunjukannya (dalalah) .
Dalil Qath’I adalah setiap nash yang mempunyai makna secara pasti dan jelas (tanpa ta’wil), baik ditinjau dari segi asbabul wurud (sebab turunnya), maupun dari segi dalalah (penunjukannya).
Sedangkan dalil Zhanny adalah setiap nash yang mempunyai makna tidak pasti (dugaan) yang masih kemungkinan terjadi proses ta’wil (perubahan), baik dari segi wurud (keberadaannya) maupun dalalah (pemahaman dan penunjukkan maknanya).
Jika memahami nash-nash ditinjau dari segi Wurud (sebab datang dan turunnya) terbagi menjadi dua bagian :
1. Qhat’I al Wurud
2. Zhanniy al Wurud
Nash yang Qath’I al Wurud adalah nash-nash yang dilihat dari segi turunnya, ketetapannya dan penukilannya secara jelas dan pasti. Menurut Safi Hasan Abu Thalib bahwa nash- nash yang sampai kepada kita adalah sudah pasti tidak dapat diragukan lagi karena diterima secara mutawatir.
هو ما نقل الينا بطريق التواتر
Seperti al Qur’an bersifat Qath’i al Wurud sebab turunnya, ketetapannya dan penukilannya dilakukan mulai diturunkan Allah kepada Rasul-Nya yang disampaikan kepada umatnya secara estafet tanpa perubahan dan pergantian. Demikian juga as-Sunnah yang mutawatir bersifat Qath’I al Wurud, sebab periwatannya mutawatir (berlangsung terus menerus) mulai dari Rasul, para sahabat, tabi”in, ulama dan seterusnya sampai kepada kita. Di samping juga ada yang bersifat Zhanniy al-Wurud (sunnah masyhur dan ahad).
Nash yang Zhanniy al-Wurud adalah nash-nash yang datang dan penukilannya belum jelas dan masih dalam dugaan. Safi Hasan Abu Thalib menyebutnya dengan :
هو الذي قد يثور شك حول ثبوته لانه لم ينقل الينا بطريق التواتر
Nash dalam kategori ini adalah hanya as-Sunnah yang masyhur dan ahad, meskipun sumber datangnya dari Rasulullah namun sanadnya tidak mendatangkan kepastian dan masih merupakan dugaan karena tidak dinukil secara mutawatir. Al-Qur’an dan as-Sunnah Mutawatir tidak termasuk dalam kelompok ini.
Adapun pemahaman nash-nash yang ditinjau dari segi dalalah (penunjukannya) juga terbagi menjadi dua bagian:
1. Qath’I al-Dalalah
2. Zhanniy al-Dalalah
Nash yang Qath’i a-Dalalah adalah nash-nash yang menunjukkan adanya makna, yang dapat dipahami dengan pemahaman tertentu, atau tidak mungkin menerima adanya ta’wil, atau tidak ada arti selain pemahaman dari makna tersebut . Safi Hasan Abu Thalib menjelaskan bahwa tema yang disebutkan ini ialah kelompok nash-nash yang hanya menunjukkan kepada pengertian yang satu saja atau tertentu.
هو النصوص التي لا تدل الا على معنى واحد
Sementara itu, Imam Abu Zahra dalam bukunya Ushul Fiqh menyebutnya dengan:
الفاظ بينة الدلالة واضعة لا تحتاج الى بيان
“Lafadz-lafadz nash yang menunjukkan kepada pengertian yang jelas, tegas serta tidak memerlukan penjelasan lain.”
Al-Qur’an dan as-Sunnah keduanya juga mengandung pemahaman Qath’i al-Dalalah, namun hanya as-sunnah tingkat Mutawatir sajalah yang penunjukkannya (dalalah) sama dengan al-Qur’an. Sedangkan as-Sunnah yang di bawah peringkat mutawatir termasuk kelompok Zhanniy al-dalalah .

Adapun nash yang Zhanniy al-Dalalah adalah nash-nash yang menunjukkan atas makna, tapi memungkinkan di ta’wil atau dirubah dari makna asalnya menjadi makna yang lain. Baik al-Qur’an maupun as-Sunnah mengandung makna Zhanniy al-Dalalah. Mengenai contoh dari keduanya akan dijelaskan pada pembahasan berikut.

Al-Qur’an dan Dalalahnya
Para ahli hukum Islam sepakat mengenai penggunaan al-qur’an sebagai sumber hukum yang utama dalam menentukan dan mengambil kesimpulanhukum. Mengenai tema-tema di atas dan hubungannya dengan nash al-Qur’an, maka seluruh nash al-qur’an adalah qath’i al-Wurud dari segi eksistensinya dan ketetapan turunnya karena al-Qur’an itu sampai kepada kita dengan cara mutawatir yang tidak diragukan kebenarannya dari ayat yang pertama sampai ayat yang terakhir diturunkan. Akan tetapi ayat hukum yang lansung menunjukkan materi hukum sangat terbatas jumlahnya. Menurut Abdul Wahab Khalaf, bahwa ayat-ayat hukum dalam bidang mu’amalat berkisar antara 230 sampai 250 ayat saja . Sedangkan jumlah ayat al-Qur’an seluruhnya lebih dari 6.000 ayat. Jadi, jumlah ayat hukum dalam al-qur’an sekitar 3-4% saja dari seluruh ayat al-Qur’an. Bahkan menurut Prof Dr. H. M. Rasjidi, ayat-ayat al-Qur’an kurang lebih 200 ayat, yakni sekitar 3% dari jumlah seluruhnya .

Selanjutnya, nash-nash al-Qur’an jika dilihat dari segi dalalah (penunjukkannya) bagi hukum di dalamnya, mengandung dua makna.
Pertama, Nash yang Qath’i al-dalalah yakni, nash yang menunjukkan makna yang pasti. Umumnya nash-nash al-Qur’an yang dikategorikan kepada Qath’i al-Dalalah ini, lafadz dan susunan kata-katanya menyebutkan angka, jumlah atau bilangan tertentu serta sifat atau nama dan jenis .
Beberapa contoh al Qur’an yang Qath’I al-dalalah sebagai berikut :


“Dan bagimu (suami) mendapat seperdua harta yang ditinggalkan oleh istri-istri kamu, jika mereka tidak mempunyai anak……. “(QS. An-Nisa':12)

Ayat tersebut berbicara tentang pembagian harta pusaka/warisan. Bahwa bagian suami (bila ditinggalkan mati istri) dengan keadaan tidak mempunyai anak, maka ia mendapat bagian seperdua, dan tidak bias dipahami dengan versi lain. Ayat diatas adalah Qath’I al dalalah, jelas dan tegas, karena terdapat kata (نصف = seperdua) yang tidak dapat dipahami dengan pengertian lain kecuali menunjukkan kepada maksud yang di kehendaki oleh kata itu sendiri, yaitu jumlah tertentu.

“perempuan yang berzina dan laki-laki yang berzina maka deralah tiap-tiap seorang dari keduanya seratus kali dera......” (QS. an-Nur :2)

Ayat di atas juga Qath’i al dalalah dari pemahamnan kata ( =seratus dera), yakni menjatuhkan hukuman pidana terhadap hukum pidana terhadap pelaku zina, baik laki-laki maupun perempuan dengan had 100 kali dera, tidak kurang tidak lebih. Begitu juga setiap nash yang menjelaskan bagian soal harta warisan, had dalam hukuman, juga mengenai nishab, semua itu telah dibatasi .

“ Dan orang-orang yang menuduh wanita-wanita yang baik-baik(berbuat zina) dan mereka tidak dapat mendatangkan empat orang saksi, maka daerah (jilid) mereka yang menuduh itu sebanyak delapan piluh kali derah.(QS. an-Nur :4)
Dalam ayat diatas terdapat kata-kata ( اربعة شهداء = empat orang saksi) yang menunjukan bilangan atau angka yang sudah pasti. Nash-nash al-Qur’an yang dikatagorikan seperti contoh diatas, para ulama ushul sepakat dan tak seorang pun menolaknya bahwa nash-nash yang qath’i al-dalalah itu sudah jelas dan pasti pengertiannya .

Kedua, Nash yang Zhanniy al-dalalah yakni, menunjukan makna yang tidak pasti atau masih dugaan dan memungkinkan terjadi ta’wil. Menurut Safi Hasan Abu Thalib, bahwa nash-nash al-Qur’an yang dikatagorikan pada kelompok kedua ini adalah bila lafadz-lafadznya diungkapkan dalam bentuk umum,musytarak,dan mutlaq. Ketiga bentuk lafadz ini dalam kaidah ushuliyyah mengandung makna atau pengertian yang banyak dan tidak tegas. Secara kuantitas jumlah nash-nash al-Qur’an yang Zhanniy al-dalalah lebih banyak dari nash yang qath’i al-dalalah, sehingga banyak menimbulkan interpretasi dan perdebatan dikalangan ulama ushul dalam mengambil kepastian hukum.
Beberapa contoh nash-nash al-qur’an yang Zhanniy al-dalalah sebagai berikut :

“Dan wanita-wanita yang ditalaq (diceraikan) oleh suami mereka, hendaklah mereka menahan diri (menunggu) selama tiga kali quru’.(QS. Al-Baqarah : 228).

Yang menjadi persoalan di dalam ayat ini bukan tiga kali quru’nya, jumlah tiga kali itu sudah jelas tapi lafadz قروء itu sendiri. Lafadz قروء jamak dari قرء adalah musytarak, yaitu mengandung arti lebih dari satu; ada yang mengartikan dengan haid ( حيض) dan ada juga yang mengartikan dengan suci ( طهر) . Keduanya dari arti lafadz قروء akan menghasilkan kesimpulan hukum yang berbeda. Maksudya jika قروء berarti’suci’ maka wanita yang ditalak suaminya itu harus menunggu tiga kali suci dan tentu masa’iddahnya lebih lama atau lebih panjang dari pada arti haid. Hal ini karena penghitunganya ditekankan setelah suci (bersih) dari haid secara berturut-turut tiga kali.

Berbeda halnya jika lafadz قروء berarti ‘haid’. Artinya, jika wanita yang ditalak oleh suaminya itu telah nyatadan terbukti haid berturut-turut tiga kali, maka habislah masa ‘iddahnya dan tidak mesti menunggu sampai ia suci (bersih).
Kalangan Hanafiyah berpendapat bahwa lafadz قروء berarti haid, karena berdasarkan qarinah bahwa sasaran ‘iddah tersebut adalah terkait dengan wanita apakah rahimnya bersih dari benih-benih kehamilan atau tidak hal ini hanya bisa dibuktikan dengan haid bukan suci.
Sementara itu dikalangan syafi’iyah berpendapat bahwa lafadz قروء berarti suci, karena qarinahnya menunjukan kata bilangan muannats (jenis perempuan) sedangkan yang dibilang (al-ma’dud) itu adalah mudzkar yaitu( طهر) .

“Allah tiadak menghukum kamu disebabkan sumpah-sumpahmu yang tidak dimaksud (untuk bersumpah), tetapi dia menghukum kamu disebabkan sumpah-sumpah yang kamu sengaja, maka kaffarat (melanggar) sumpah itu adalah memberi makan sepuluh orang miskin yaitu dari makanan yang biasa kamu berikan kepada keluargamu atau memberi pakaian kepada mereka atau memerdekakan budak. Barang siapa tidak sanggup melakukan yang demikian, maka kaffaratnya puasa selama tiga hari.”(QS.al-Maidah : 89).
Dari kata اللغو pada ayat diatas, para fuqoha telah berbeda pendapat. Madzhab Hanafi berpendapat bahwa pengertian اللغو ialah sumpah terhadap sesuatu yang disangka terjadi, tapi kenyataanya tidak. Sedang sebagian yang lain berpendapat bahwa yang dimaksud اللغو ialah sumpah yang tidak bertujuan untuk memperkuat ucapan. Misalnya dalam suatu ucapan seseorang mengatakan : “ya, demi allah,” (la wallahi),kata-kata tersebut telah biasa diucapkan tanpa memliki konotasi sebagai sumpah.
Dengan demikian dalalah kalimat اللغو adalah bersifat zhanniy. Demikian pula kalimat (عقدتم = sumpah yang disengaja) juga diperselisihkan para ulama . Juga puasa tiga hari, apakah berturut-turut atau tidak .
Masih banyak contoh lain yang harus dipahami dari nash-nash yang menunjukkan Zhanniy al-Dalalah. Karena menurut kuantitasnya, nash-nash al-qur’an yang dikategorikan kepada Zhanniy al-Dalalah ini jumlahny lebih besar dari Qath’i al-Dalalah. Maka sebuah keniscayaan jika kemudian terjadinya banyak perbedaan pendapat dikalangan mujtahid dalam mengambil kepastian hukumnya, serta beragamnya produk hukum yang dihasilkan adalah sesuatu yang tidak dapat dihindari, sehingga memenuhi khazanah intelektual muslim dalam bebagai bidang ilmu, mulai dari bidang Tafsir dan Hadits sampai bidang Filsafat, Teologi dan Hukum Islam. Dalam hubungan ini Harun Nasution secara ilustratif menyatakan : “Kelompok ajaran islam itu kecil dizaman nabi, lebih besar di zaman Khulafaurrasyidin, lebih banyak lagi di zaman Usman, begitulah selanjutnya berkembang. Akan tetapi Qur’annya itu-itu juga .

Sunnah dan Dalalahnya
Sebelum menentukan apakah sunnah dalalah Qath’i atau Zhanniy, hendaknya kita mengetahui terlebih dahulu bagian dari beberapa sunnah. Dalam pembahasan ini yang harus diketahui dari pembagian sunnah adalah ditinjau dari segi jumlah periwayatannya. Menurut para ulama bahwa sunnah dibagi menjadi tiga tingkatan :
1. Sunnah Mutawatir, yaitu sunnah (khabar) yang disampaikan secara berkesinambungan oleh orang banyak yang kuantitasnya untuk setiap sambungan mencapai jumlah tertentu yang tidak memungkinkan mereka bersepakat untuk berbohong.
2. Sunnah Masyhur, yaitu sunnah yang diterima nabi oleh beberapa orang Sahabat kemudian disampaikan kepada orang banyak yang selanjutnya disampaikan juga kepada orang banyak yang jumlahnya mencapai ukuran batas Sunnah Mutawatir.
3. Sunnah Ahad, yaitu sunnah yang diriwayatkan oleh kelompok yang tidak sampai kepada derajat mutawatir atau yang diriwayatkan oleh seseorang atau dua orang atau kelompok orang yang telah mencapai derajat mutawatir.

Perbedaan yang jelas diantara ketiganya adalah bahwa, Sunnah Mutawatir diterima dan disampaikan dari pangkal sampai keujung secara mutawatir, Sunnah Masyhur diterima dan disampaikan pada tingkat awal secara perorangan, kemudian dilanjutkan sampai keujungannya secara mutawatir. Sedangkan Sunnah Ahad diterima dan disampaikan kemudian secara beranting sampai ke ujungnya secara perorangan .
Selanjutnya, dari beberapa bagian dari Sunnah yang ada tiga tersebut dapat dikatagorikan bahwa, jika dilihat dari segi eksistensinya (Wurud) Sunnah sebagai dasar dalam penetapan hukum, maka ia dikelompokkan menjadi Qath’i al-Wurud dan Zhanniy al-Wurud.
Menurut Abdul Wahab Khalaf bahwa, Sunnah Mutawatir adalah Qath’i al-Wurud dari Rasulullah. Sebab mutawatirnya periwayatan itu dapat melahirkan ketetapan dan kepastian tentang kebenaran suatu riwayat . Dengan kata lain, Sunnah Mutawatir ini periwayatannya dilakukan oleh orang banyak dan disampaikan kepada orang banyak pula sehingga tidak mungkin akan terjadinya kebohongan kolektif.
Sementara itu, Sunnah yang dikategorikan kepada Zhanniy al-Wurud adalah Sunnah Masyhur dan Ahad. Keduanya - Masyhur dan ahad- dilihat dari segi periwayatan atau penukilannya dari nabi tidak mencapai tingkat mutawatir. Abdul Wahab Khalaf berpendapat bahwa, Sunnah Masyhur adalah qath’i al-wurud dari seorang sahabat yang menerima riwayat dari rasulullah, karena tawaturnya penukilan dari mereka, tetapi belum tentu datang dari rasulullah, sebab yang pertama kali yang menerima bukan kelompok tawatur.sehingga fuqaha Hanafiyah mengatakan bahwa Sunnah Masyhur termasuk Sunah Mutawatir yang demikian keumuman al-Qu’an ditakhsis dan kemutlakannya diberi batasan (taqyid) karena riwayat tersebut Qath’i al-wurud datang dari sahabat. Adapun Sunnah Ahad adalh Zhanniy al-wurud dari Rasulullah karena sanadnya tidak mendatangkan kepastian.
Kemudian, Sunnah dilihat dari segi dalalah (penunjukannya) dapat dibedakan kepada Qath’i al-Dalalah jika nash (makna lafadznya) tidak mungkin dita’wilkan, yakni sunnah yang dalalahnya mengandung pengertian makna yang pasti dan jelas. Sebagai contoh, dalam hadits disebutkan cara rasulullah berwudhu dengan membasuh anggota wudhu masing-masing tiga kali ثلاث مرات) ) kecuali mengusap kepala. Dalam kata (ثلاث مرات) itu menunjukkan pengertian Qath’i (pasti) dan tidak dapat diartikan kepada pengertian lain selain yang dikehendaki. Dan Sunnah yang Zhanniy al-Dalalah jika nash (makna lafadznya) mengandung pengertian makna yang mungkin terjadi ta’wil dan terdapat pengertian lain selain yang dikehendaki. Misalnya hadits tentang bacaan al fatihah dalam shalat.
لا صلاة لمن لم يقراء بفاتحة الكتاب
“tidak sah shalat bagi orang yang tidak membaca surat al fatihah”.
Membaca al fatihah dalam shalat dalalahnya Zhanniy. Sebagaiman dijelaskan oleh Zaky al-Din Sya’ban bahwa bacaan alfatihah ini dikalangan ulama menimbulkan perdebatan. kalangan jumhur fuqaha berpandapat bahwa tidak sah bagi orang yang tidak membaca al-Fatihah dalam shaltnya. Sementara itu kalangan Hanafiyah berpendapat bahwa hadits diatas adalah Zhanniy al-Dalalah, karena ada kemungkinan mengandung arti lain, yaotu bukan tidak sah shalat seseorang ia jika tidak membaca al-fatihah, tetapi menunjukkan pengertian tidak sempurna . Dengan demikian, bahwa nash-nash yang yang Zhanniy al-Dalalah memberi peluang untuk dita’wilkan atau diartikan dengan pengertian lain selain dari dasar yang dikandungnya.

KESIMPULAN
Atas dasar ini. Jika diadakan perbandingan antara nash-nash al-Qur’an dengan as-sunnah dilihat dari segi Qath’i dan Zhanniy, maka al-Qur’an seluruh nashnya adalah Qath’i al-Wurud, sedangkan dalalahnya ada yang Qathi al dalalah dan ada yang Zhanniy al-dalalah. Adapun as-sunnah ada yang qath’i al-wurud dan ada yang zhanniy al –wurud jika dilihat dari segi eksistensinya (keberadaan). Disamping itu, dari segi dalalah (penunjukkannya) ada yang Qath’i al-dalalah dan ada juga yang Zhanniy al-dalalah.

|
This entry was posted on 13.27 and is filed under . You can follow any responses to this entry through the RSS 2.0 feed. You can leave a response, or trackback from your own site.

6 komentar:

On 17 Maret 2014 pukul 22.06 , Unknown mengatakan...

matur suwun atas ilmunya

 
On 17 Maret 2014 pukul 22.07 , Unknown mengatakan...

matur suwun atas ilmunya

 
On 17 Maret 2014 pukul 22.07 , Unknown mengatakan...

matur suwun atas ilmunya

 
On 17 Maret 2014 pukul 22.07 , Unknown mengatakan...

matur suwun atas ilmunya

 
On 17 Maret 2014 pukul 22.10 , Unknown mengatakan...

matur suwun atas ilmunya

 
On 10 Agustus 2015 pukul 13.50 , dindadesi mengatakan...

Permisi Numpang Promo
Refiza Souvenir menyediakan berbagai macam souvenir tasbih cantik dan elegan untuk oleh-oleh haji dan umroh. cek katalog kami di www.refiza.com