Meluruskan Makna Salaf
07.50 | Author: Al Faqir Muhtar Lutfi, S. H. I

Belakangan ini ada tasyabbuh atau kesalahpahaman dalam memahami makna salaf. Orang biasanya menyamakannya dengan tasalluf, berlagak seperti salaf. Misalnya, orang-orang yang berlagak mengikuti salaf dengan bersurban, berpakaian serba putih, dan beribadah dengan seketat-ketatnya dan semurni-murninya. Tidak hanya secara individual, tetapi sudah melahirkan gerakan salafi yang cenderung eksklusif.
Kata salaf secara bahasa semakna dengan kata qabla, yang berarti sebelum atau yang lampau. Kata ini sering dilawankan dengan kata khalaf yang berarti yang belakangan. Dalam perkembangannya, makna salaf menyempit untuk menyebut suatu babakan historis tertentu dalam sejarah Islam yang berwenang memberi legitimasi ajaran Islam atas periode sesudahnya.

Bahkan, menurut Muhammad Said Ramadhani Al Buth’i, otoritas tersebut hanyalah melekat pada tiga generasi awal Islam, yakni para sahabat, tabi’in, dan tabi’al tabi’in. Pemahaman ini mungkin banyak diilhami oleh sabda Nabi Muhammad SAW: “Sebaik-baik kurun atau masa adalah masa saya (masa para sahabat), kemudian yang mengikutinya (tabi’in), lalu yang mengikutinya (tabi’ al tabi’in).”
Pandangan seperti ini cukup mendasar. Soalnya, periode tersebut memang sangat dekat dengan kehidupan Nabi Muhammad SAW. Beliau merupakan sumber otoritas doktrin-doktrin Islam yang dituangkan dalam Alquran dan hadis. Sudah selayaknya, jika kemudian generasi sahabat sebagai pendamping setia Rasulullah lebih banyak mendengar langsung ajaran Islam dari beliau.
Namun demikian, tiga dasawarsa setelah wafatnya Rasulullah, umat Islam terbelah dalam partai-partai politik (al firaq Al Islamiyah) yang kemudian mengarah pada munculnya sekte-sekte dalam teologi. Tragedi ini membawa dampak yang serius bagi karakteristik salaf. Mau tidak mau, subjektivitas dan fanatisme kelompok dan aliran menjadi pegangan bagi setiap individu umat Islam. Jelas, hal ini mematahkan kadar objektivitas dan keutuhan mereka dalam menyikapi otoritas salaf.
Dalam pandangan mayoritas ulama, yakni kalangan Sunni generasi tabi’ al tabi’in dan para pengikutnya, para khalifah yang empat semuanya memiliki otoritas salaf. Sementara di pihak lain, kelompok Khawarij melihat hanya Khalifah Abu Bakar dan Umar ibn Al Khaththab yang memiliki otoritas kesalafan. Pada Utsman dan Ali, menurut mereka, sudah muncul penyimpangan-penyimpangan. Sedangkan, Syiah secara tegas hanya mengakui otoritas kekhalifahan Ali ibn Abi Thalib.
Perpecahan umat semakin kusut. Setiap kelompok mengklaim dirinyalah yang paling benar. Oleh karena itu, sektarianisme tersebut segera dipangkas dengan merujuk pada sabda Rasulullah: “Perbedaan (pendapat) di kalangan umatku merupakan suatu rahmat.”
Maka, bisa dikatakan, salafiyah dalam sejarah Islam dikenal sebagai aliran atau golongan keagamaan yang selalu merujuk pada prototip al salaf al salih yang berpegang teguh pada nilai-nilai luhur mereka yang bersumber pada Alquran dan hadis. Mereka mencuat ke permukaan dalam kondisi ketika ada sebagian umat Islam ingin memotong mata rantai bermazhab. Mereka di antaranya ditandai dengan sikap-sikap tasalluf yang selalu menampilkan atribut-atribut salaf secara lahiriah, namun tidak mesti memahami dan melaksanakan nilai-nilai ideal yang diwariskan para salafiyun
Persaudaraan lintas iman
Jika kita menelaah tahapan pembentukan masyarakat yang dirintis oleh Nabi Muhammad, sebetulnya ada dua periode historis, yakni periode Makiyah dan Madaniyah. Kedua periode ini menandai tahapan-tahapan yang penting dilakukan para pembaharu masyarakat dalam menegakkan nilai-nilai dan tradisi salafiyah dalam konteks kekinian.
Periode pertama berlangsung saat Nabi Muhammad beserta pengikutnya tinggal di kota tempat kelahirannya, Makkah. Periode ini berlangsung sekitar 13 tahun lamanya. Sungguhpun periode ini lebih lama dari periode berikutnya, hasil yang dicapai Nabi Muhammad tidak sesukses periode kedua. Selama kurun waktu 10 tahun lebih tersebut, konsentrasi penataan masyarakat Arab melalui ajaran moralitas Islam ke arah masyarakat berperadaban baru mencapai taraf transformasi sosial-budaya. Persaudaraan yang muncul pun sebatas persaudaraan internal umat Islam. Mereka bergabung dalam komunitas al sabiqun al awwalun yang berjumlah puluhan hingga ratusan saja.
Sedangkan, pada periode Madaniyah, peluang nabi Muhammad untuk membangun tatanan masyarakat majemuk semakin terbuka, yakni dengan dikeluarkannya kesepakatan bersama antara umat Islam dan Yahudi di Madinah yang dikenal dengan sebutan Piagam Madinah. Kandungan piagam ini merupakan bagian dari upaya melapangkan jalan rekonsiliasi berbagai etnis, agama, dan kelompok yang ada di Madinah saat itu. Ini penting untuk membangun pranata sosial kemasyarakatan yang aman, damai dan sentosa. Oleh karena itu, wajah Islam sejak saat itu semakin menampakkan dimensi fungsionalnya ketimbang dimensi normatif dan formalitasnya.
Misi Islam kemudian ditutup dengan peristiwa haji wada’ (haji perpisahan). Dalam peristiwa besar tersebut, Rasulullah menyampaikan khutbahnya pada puncak ibadah haji saat itu. Di antara isi khutbanya, beliau mengingatkan bahwa darah, harta, dan kehormatan manusia sangat dimuliakan.
Isi khutbah tersebut menunjukkan sikap tentang kesalafiyahan, yakni bahwa kesempurnaan keislaman seseorang haruslah disertai pula dengan upaya penghormatan atas jiwa dengan menghindarkan segala kekerasan. Ringkasnya, dalam konteks saat ini, penghormatan atas nilai-nilai dan hak-hak asasi manusia (HAM) merupakan bagian integral dalam ajaran Islam. Padahal, nilai-nilai tersebut menjadi pilar penting bagi pembentukan masyarakat sipil yang plural, yakni sebuah masyarakat yang dibangun atas dasar persaudaraan lintas iman.
Meneladani karakter salaf
Ketulusan dan keikhlasan generasi salaf merupakan satu kunci kesuksesan dahwah mereka. Refleksi hati yang tulus ikhlas akan memancarkan kearifan dalam setiap pengambilan keputusan. Konsekuensinya, pertimbangan-pertimbangan yang sangat subjektif harus dibuang jauh-jauh dalam pikiran dan langkah mereka. Tidak mengherankan, jika kemudian mereka sering disebut-sebut sebagai salafuna al salih, generasi salaf yang bijak. Karakter salafuna al salih tampak dari sikap mereka ketika menyerap ilmu pengetahuan dan peradaban dari luar khazanah umat Islam.
Dengan demikian, bisa disimpulkan bahwa nilai-nilai salafiyah tidaklah terlepas dari kristalisasi penghargaan ilmu sebagai sebuah sikap ilmiah, sebagai pantulan sikap tulus ikhlas, serta sebagai sebuah refleksi sikap yang arif dan bijaksana. Singkatnya, salafiyah merupakan cerminan generasi yang dinamis dan energik serta penampilan para ilmuwan yang kritis dan lapang dada.
Wacana ilmiah mereka terlihat sejak turunnya risalah Islam, saat Rasullullah menerima wahyu pertama kali di Gua Hira. Perintah iqra melecut kaum Muslim yang tertinggal jauh peradabannya dengan percaturan umat di dunia. Bukanlah suatu kebetulan, bila Nabi Muhammad akhirnya mampu mengarahkan para sahabat dan komunitas umat Islam pada sebuah transformasi ilmiah secara besar-besaran. Jazirah Arabia yang dahulu gersang dengan peradaban baca tulis, dalam waktu relatif singkat telah berubah menjadi masyarakat berperadaban tinggi. Kemudian kebudayaan umat Islam mencapai suatu tingkat kosmopolitanisme dalam sejarah peradaban bangsa-bangsa di permukaan bumi ini.
Asimilasi atau adaptasi mereka dengan berbagai bangsa secara ekonomi, sosial dan kultural tidaklah dipandang sesuatu yang tabu dan haram. Namun, patut dicatat, semua upaya ini sekali-kali tidaklah pernah bergeser sejengkalpun dari prinsip-prinsip dasar Islam. Meskipun bergumul dengan aneka pemikiran dan tradisi budaya non-Muslim, mereka tidak pernah melampaui pesan-pesan Alquran dan hadis.
Akhirnya, akumulasi sikap ilmiah, dinamis dan energik pada kaum salaf ini membangkitkan sikap kritis dalam menanggapi persoalan. Sikap ini misalnya, mereka buktikan dalam metode jarh wa ta’dil sebagai sebuah metode kritik hadis yang belaku di kalangan para ahli hadis. Sikap-sikap mulia dari salafiyah inilah yang akan mendukung tegaknya nilai-nilai kemanusiaan yang kini menjadi idaman bagi segenap umat manusia.
Ikhtisar
- Makna salaf telah merujuk pada periode Rasulullah SAW hingga tabi’ al tabi’in.
- Ketulusan dan keikhlasan generasi salaf merupakan kunci keberhasilan dakwah mereka.
- Generasi salaf mampu mengangkat peradaban Islam pada kosmopolitanisme peradaban dunia.
- Upaya generasi salaf untuk berdialog dengan peradaban lain tidak pernah sedikitpun bergeser dari pesan-pesan Alquran dan hadis.
(sumber:KH.Said Aqil Siradj)

|
This entry was posted on 07.50 and is filed under . You can follow any responses to this entry through the RSS 2.0 feed. You can leave a response, or trackback from your own site.

0 komentar: